<data:blog.pageTitle/>

23 Juli 2007

Cegah Militer Masuk Kancah Politik --

span style="font-weight:bold;">

Denpasar (Bali Post) -
Kembalinya kekuatan militer dalam kancah politik harus tetap diwaspadai. Terlebih lagi militer yang pro-status quo. Upaya pencegahan dilakukan dengan mengurangi konflik-konflik yang dilakukan elite politik sipil.

Bila yang terjadi adalah kegagalan sipil dalam melakukan pengelolaan negara, kekuatan militer akan memiliki alasan mengambil alih kekuasaan. Demikian terungkap dalam seminar serangkaian Konferensi Cabang DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Denpasar, Sabtu (17/4) lalu di Monumen Perjuangan Rakyat Bali Bajra Sandhi, Renon.

Ketua Presidium GMNI Pusat Sony Primantara, salah satu pembicara memaparkan bahwa kekuatan militer tidak akan menjadi ancaman jika dalam kesadaran rakyat telah terbangun iklim demokrasi yang sehat. Peranan para elite politik sipil yang telah diberikan ruang luas dalam kepemimpinan nasional harus benar-benar dimanfaatkan.

Ketika politisi-politisi sipil justru melahirkan konflik dalam mengelola negara, militer tidak akan segan-segan mengambil kekuasaan negara.

Telebih lagi, kata salah satu peserta seminar, Wayan "Gendo" Suardana, Sekjen Fron Demokrasi Perjuangan Rakyat Bali (Frontier), sampai saat ini sistem hirarkis militer Indonesia paling siap untuk mengambil alih kekuasaan. "Institusi militerlah yang paling siap untuk mengambil alih kekuasaan jika politisi sipil mengalami kegagalan," tegasnya. Namun, lanjut Gendo, yang perlu dicermati adalah masuknya militer ke dalam struktur politik melalui parpol. Semuanya tidak lepas dari "kegenitan" pimpinan parpol sebagai politisi sipil.

Dalam pandangan pengamat politik Tjok. Gde Atmadja, S.H. yang hadir sebagai pembicara, dimasukkannya unsur militer ke dalam struktur partai politik, tidak lepas dari ketidakpercayaan diri para politisi sipil. "Politisi sipil hingga kini belum memiliki kepercayaan diri sehingga mencari figur militer untuk memberikan dukungan," tegasnya.

Terlepas dari persoalan-persoalan di atas, Sony menekankan bahwa kultur budaya masyarakat Indonesia juga memberi andil bagi tetap bertahannya kekuatan militer dalam politik. Banyak kemampuan yang tidak dimiliki oleh sipil dalam mengelola sebuah negara namun dimiliki oleh seorang figur militer. Salah satunya dalam soal kedisiplinan.

Hanya, lanjut Sony, demokrasi yang dipahami militer sebatas apa kata komandan atau pimpinannya. Hal ini sangat riskan bagi sebuah kehidupan demokrasi yang ideal. Karenanya kepemimpinan negara oleh figur militer masih rentan dengan beberapa persoalan.


GMNI Lain

Sementara itu, digelarnya Konfercab DPC GMNI Denpasar, Sabtu lalu, membuktikan adanya perpecahan di dalam tubuh GMNI Denpasar. Sehari sebelumnya (Jumat, 16/4) bertempat di Balai Diklat Propinsi Bali, DPC GMNI Denpasar pimpinan IDP Singarsa yang bekerja sama dengan Forum Komunikasi Alumni (FKA-GMNI) Bali menggelar dialog bertajuk "Obrolan Bali Mandiri".

Seminar dan konfercab di Bajra Sandhi digelar DPC GMNI Denpasar di bawah Ketua Dewan Caretaker-nya Agustinus. Sejumlah pengurus dari kedua DPC GMNI yang diminta konfirmasinya atas perpecahan ini, tidak banyak memberikan penjelasan. Kedua belah pihak nampak memiliki dan meyakini sebagai GMNI yang sah. (kmb14)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda


Free chat widget @ ShoutMix