<data:blog.pageTitle/>

20 November 2007

Kemiskinan di Indonesia


oleh : sonny t danaparamita

Awalan
Krisis Moneter yang beberapa tahun yang lalu datang secara tiba-tiba di kawasan Asia Tenggara telah menghancurkan perekonomian beberapan negara di kawasan ini. Bak gelombang tsunami, krisis tersebut telah meluluhlantakan sendi-sendi perekonomian berbagai negara. Dengan masa “penularan” yang sangat cepat, krisis ini dengan ganas menyebar mulai dari Malaysia, Singapura, Filipina, Indonesia dan Korea Selatan.

Sebab-musabab dari krisis moneter yang telah membawa efek domino luar biasa tersebut telah mengundang perdebatan para pengamat. Mengutip tulisan dari Ibrahim Yusuf, ada dua kelompok yang memiliki pandangan yang berbeda. Sebagian menilai penyebab dari krisis moneter di Asia Tenggara tersebut adalah faktor internal. Dalam pandangan kelompok ini kultur politik dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara tidak cocok dengan kultur politik barat yang memang memberi ruang pada kapitalisme, sehingga kultur politik Asia Tenggara tersebut menjadi tidak selaras dengan nilai-nilai ekonomi yang telah diimpornya. Sementara sebagian pihak lain menyatakan bahwa faktor eksternal sebagai penyebabnya menyodorkan argumen yang antara lain adalah adanya dampak perkembangan dari perekonomian negara-negara maju dan pasar keuangan global-lah yang menyebabkan ketidakseimbangan global.(Reformasi Kehidupan Bernegara, Kompas, 1999:44)



Kemiskinan Indonesia sebagai Problem Struktural
Di Republik tercinta ini, Krisis Moneter (krisis ekonomi) telah membawa efek kemana-mana. Sebelum krisis melanda kita, tingkat pertumbuhan ekonomi negara kita ini bisa mencapai hingga 7 % pertahun. Namun begitu dihantam oleh krisis, pertumbuhan tersebut berbalik drastis menjadi minus 13 % dan berdampak luas serta mendalam pada derajat dan kualitas kemiskinan itu sendiri. Lebih lanjut, sungguh menarik membaca temuan dan hasil diskusi panjang yang dilakukan oleh GAPRI (Gerakan Anti Pemiskinan Rakyat Indonesia). Kelompok ini memandang bahwa situasi kemiskinan atau pemiskinan sesungguhnya adalah proses pemiskinan atau kemiskinan struktural. Dalam konteks ini, kemiskinan struktural diartikan sebagai upaya sistematis terhadap perampasan daya kemampuan (capability deprivation) manusia atau kelompok masyarakat, sehingga membuat manusia atau kelompok masyarakat tersebut masuk dalam lingkaran kehidupan yang memiskinkan, dimiskinkan/dimarginalkan secara sosial, ekonomi dan politik. Sedangkan “perampasan daya” tersebut adalah sebuah proses penguasaan sitematis yang dijalankan oleh kekuatan ekonomi dan politik atas hak dan daya sosial ekonomi, daya politik, dan daya psykologis warga negara ( si miskin).
Indikator dari perampasan daya dimaksud dapat dilihat dari: (1) Indeks kemiskinan manusia, (2) Penduduk yang meninggal dibawah 40 tahun, (3) Tingkat buta huruf orang dewasa, (4) Orang tanpa akses air bersih, (5) Orang tanpa akses ke jasa pelayanan kesehatan, (6) Balita kurang gizi, serta (7) Meluasnya internalisasi budaya kemiskinan. (Hal ini merupakan perspektif tanding dari ornop atas “paradigma arus utama”)

Kini tiba saatnya kita mencoba masuk lebih dalam untuk mengupas problem kemiskinan di Indonesia dengan satu pertanyaan mendasar, yakni: “ Apakah kemisikinan di Indonesia memang tepat untuk dikatakan sebagai sebuah pemiskinan atau kemiskinan struktural ? “

Pada sisi ini, saya sependapat dengan hasil temuan GAPRI maupun pihak-pihak yang menyatakan bahwa kemiskinan di Indonesia muncul karena adanya pemiskinan struktural. Argumentasi yang mendasari atas jawaban tersebut adalah adanya fakta-fakta yang ada bahwa problem kemiskinan di Indonesia sebenarnya adalah problem yang muncul bukan pada saat munculnya krisis ekonomi yang terjadi di tahun 1997 lalu -tapi jauh sebelum itu-, yakni ketika Indonesia masih dalam masa yang sering disebut dengan jaman Orde Baru. Pada masa itu, meskipun pertumbuhan ekonomi dianggap mantap ( 7 % ), namun tidak diikuti dengan pemerataan ekonomi. Dan sebagaimana yang telah menjadi pengetahuan bersama, ketimpangan kesejahteraan menjadi hal yang sangat mencolok terlihat pada skala nasional. Segelintir orang menguasai prosentase besar atas daya politik dan daya ekonomi di negara ini. Dan pada giliran berikutnya sejarah telah mencatat bahwa penguasaan daya politik dan daya ekonomi oleh sebagian kecil penduduk tersebut semakin dimaksimalkan dengan cara melakukan “perampasan daya” terhadap warga miskin yang masih memilikinya. Dan hal inilah yang kemudian membuat grafik ketimpangan ekonomi, sosial, dan politik di negeri ini semakin meningkat laksana deret ukur. Dan tentu saja, masalah kemiskinan akhirnya tetap menjadi masalah klasik yang selalu mengikuti sejarah perjalanan bangsa ini.


Tiga Pihak
Sebelum kita melangkah lebih jauh untuk mencari solusi atas masalah kemiskinan di negara ini, tentunya kita semua harus bersepakat dulu bahwa masalah kemiskinan adalah masalah yang multidimensi. Oleh karena itu, untuk menyelesaikannyapun kita harus bekerja dengan semua pihak, baik itu Pemerintah (yang tentu saja harus lintas departemen), Swasta, serta Masyarakat sebagai pihak yang dalam konteks kemiskinan struktural berada dalam posisi korban.

Sesuai dengan kedudukannya sebagai penyelenggara negara, kapasitas Pemerintah dalam memberantas kemiskinan sudah sepatutnya memegang posisi yang dominan. Namun demikian, sesuai dengan amanat Undang-Undang, peran ini bukan saja menjadi peran Pemerintah Pusat semata, melainkan juga peran dari Pemerintah Daerah, khususnya daerah kabupaten/kota. Undang-Undang yang bisa dijadikan acuan dalam kasus ini paling tidak adalah Undang-Undang nomor : 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Dalam Undang-Undang tersebut telah disebutkan dengan jelas bahwa Pemerintah Daerah memiliki ruang yang besar dalam kaitannya antara masyarakat dan pembangunan, halmana apabila dikerucutkan pada thema dari tulisan ini adalah hal–hal yang menyangkut tentang problem kemiskinan. Dan kata kunci yang tersurat jelas dalam Undang-Undang tersebut adalah “ Partisipasi atau Pemberdayaan Masyarakat ”.

Sedangkan pihak ke dua adalah Swasta (pengusaha). Pihak ini menjadi pihak yang juga penting untuk dilibatkan karena posisi pengusaha sebagai pelaku ekonomi bisa menjadi penunjang dari pemberdayaan ekonomi di tingkat bawah. Hal tersebut paling tidak bisa dilihat dari program yang telah dilakukannya, yakni memalui apa yang disebut dengan Corporate Social Responsibility. Lewat program ini, perusahaan-perusahaan dapat ikut mendorong berkembangnya usaha-usaha mikro yang diantaranya dengan cara pemberian bantuan kredit bagi usaha kecil maupun perorangan yang berusaha melakukan kemandirian ekonomi. Dan dari program inilah pemberdayaan ekonomi mikro setapak demi setapak dapat menemui titik kemajuannya.

Sebagai pihak terakhir yang wajib untuk dilibatkan adalah Warga Masyarakat (miskin) itu sendiri. Dalam tahap ini masyarakat yang ada harus dilibatkan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasinya.


Mencari solusi
Dalam alenia sebelumnya telah disinggung bahwa masalah kemiskinan adalah masalah yang multidimensional. Oleh karena itu untuk memberantasnyapun bukan hanya membutuhkan banyak pihak, akan tetapi juga harus dengan banyak pola. Dan dalam tulisan inipun saya akhirnya juga harus meminta maaf, karena unsur-unsur yang menjadi penyebab dari kemiskinan sangatlah banyak dan variatif, maka tulisan inipun dengan segala keterbatasan yang ada tentu saja tidak akan sampai secara detil memberikan sebuah jawaban yang bisa menggambarkannya hingga teknis. Namun demikian saya ingin menyampaikan kembali bahwa salah satu kata kuncinya adalah “Pemberdayaan Masyarakat”.

Bagi saya, kata kunci pemberdayaan masyarakat tersebut bukanlah kata yang bisa berdiri sendiri. Konsep ini perlu sebuah qondisio sine quanon. Dan qondisio sine quanon ini dalam beberapa hal sebenarnya telah dilakukan oleh Pemerintah, yang dalam bentuk teknisnya berupa program yang disebut PPK, P2KP, P3DT, KUT, dsb. Namun demikian -meskipun telah membawa hasil-, beberapa program tersebut masih perlu untuk dilakukan pembenahan - pembenahan yang bisa semakin memaksimalkan dari tujuan dan sasaran program. Pembenahan-pembenahan tersebut khususnya pada tingkat pengawasannya, mengingat masih banyaknya kasus mengenai terjadi kebocoran pada pelaksanaan program.

Sedangkan hal-hal lain yang perlu untuk dilakukan Pemerintah saat ini adalah melakukan perubahan paradigma dan menindaklanjutinya dengan yang lebih kongkrit di departemen atau badan yang ada. Paradigma yang kurang menempatkan masalah kemiskinan sebagai masalah utama dan pertama dari problem pembangunan harus segera diubah. Dan perubahan paradigma ini di tingkat internasional sekarang sudah dilakukan oleh Yayasan yang memberikan penghargaan Nobel dengan cara memberikan salah satu penghargaannya kepada tokoh yang memperjuangkan perekonomian masyarakat bawah. Pada kasus di Indonesia, Badan Pertanahan Nasional yang mencanangkan program sertifikasi dan pemberian lahan bagi petani yang tidak memiliki sawah apabila bukan sebatas wacana adalah kebijakan tepat yang memang harus dilakukan Pemerintah saat ini. Dan redistribusi aset ini akan semakin mempercepat menghilangkan kemiskinan apabila diikuti dengan redistribusi akses yang lain, baik akses di bidang pendidikan, kesehatan, maupun akses politik dalam arti partisipasi publik. Akses di bidang pendidikan menjadi penting karena dalam tantangan globalisasi persaingan yang terberat adalah persaingan pada tingkat keunggulan Sumber Daya Manusia.

Akses di bidang kesehatan juga menjadi hal yang sangat penting bagi masyarakat karena hanya manusia-manusia sehatlah yang bisa bekerja dan berbuat lebih produktif. Sedangkan akses politik dalam arti partisipasi publik menjadi bagian yang juga penting karena disamping program pembangunan akan lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat, partisipasi publik juga akan membawa dampak psykologis yang sangat positif bagi masyarakat.

Apabila ditinjau lebih jauh, masih banyak hal-hal yang harus dilakukan oleh kita semua (bukan Pemerintah semata), mengingat masalah kemiskinan adalah juga merupakan masalah ekonomi, yaitu sebuah masalah yang menurut para ahli teori sosial seperti Emile Durkheim dan Max Weber merupakan masalah yang terproses oleh kekuatan-kekuatan politik, hukum, dan keluarga (sebagai komunitas terkecil dari masyarakat).


Akhiran
Terlepas dari pentingnya peranan dari tiga pihak yang telah disebutkan diatas, peranan pemerintah (pusat) dalam melakukan pemberantasan kemiskinan di Indonesia adalah tetap masih sangat urgen. Sebagai penyelenggara negara, pemerintah (pusat) adalah institusi yang memiliki kewenangan–kewenangan luar biasa yang tidak dimiliki dua pihak yang lain. Kondisi ekonomi (kemiskinan) Indonesia ketika diperhadapkan dengan globalisasi akan terlihat semakin memprihatinkan. Dan kondisi ini sangat membutuhkan pemerintahan yang cermat dan dapat menyelamatkan dan mensejahterakan warganya. Keprihatinan ini mungkin tidak akan berlebihan ketika kita mengingat tempe yang sekarang menjadi lauk primadona kebanyakan masyarakat kita (karena dinilai sehat tapi murah) pada suatu saat nanti tiba-tiba menjadi sebuah barang yang harganya tidak terjangkau masyarakat karena hak patennya telah didaftarkan oleh warga negara dari negara lain.......Oleh karena mari kita bekerja bersama dan berdoa, semoga kondisi ini tidak semakin rumit.

Jakarta, 31 Desember 2006



Sumber bacaan :
1. Reformasi Kehidupan Bernegara, penerbit Kompas : 1999
2. Empat Pilar Demokratisasi, penerbit GAPRI : 2003
3. Undang-Undang no. 32 tahun 2004, penerbit Ramdina Prakarsa : 2004
4. Sosiologi Ekonomi, penerbit Bahana Aksa : 1987



0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda


Free chat widget @ ShoutMix