<data:blog.pageTitle/>

04 Juni 2008

Penangkapan anggota FPI, Rudi Satrio, dan Peran Negara

Sungguh menarik pendapat dari Rudi Satrio yang dimuat di Detik Com edisi 4 Juni 2008. Sebagaimana yang dilansir oleh media tersebut, Rudi Satrio yang merupakan Doktor dari Universitas Indonesia sekaligus ahli dalam bidang Hukum Pidana tersebut menyatakan bahwa tindakan Polisi yang melakukan penangkapan terhadap puluhan anggota Front Pembela Islam lebih banyak didorong oleh opini publik yang berkembang, bukan berdasar pada penegakan hukum yang ada. Selanjutnya, selain mengatakan bahwa Polisi tidak fair dalam soal penangkapan ini, Rudi juga menilai bahwa media massa sangat menyudutkan FPI.
Dalam kapasitasnya sebagai seorang pakar di bidang Hukum Pidana, tentu semua pendapat atau pandangan dari Rudi Satrio ini bagi saya agak begitu aneh. Apalagi jika mengingat pada waktu-waktu sebelumnya yang dengan keahliannya sering kali Rudi Satrio ini tampil sebagai saksi ahli dari pihak kepolisian dalam sebuah kasus-kasus pidana. Oleh karena itu menjadi agak wajar jika pikiran kita menjadi bertanya-tanya, ada maksud apa dibalik pernyataan-pernyataan dari Rudi Satrio ini sampai-sampai disinyalir menyampaikan pernyataan yang berbeda dengan keyakinannya sendiri.

Sebagaimana yang telah tercatat dalam lembar sejarah kekerasan di Indonesia, Front Pembela Islam adalah salah satu kelompok yang menggunakan kekerasan sebagai jalan mewujudkan keinginannya. Bahkan karena suratnya pada tanggal 5 Mei 2003 yang berisi instruksi kepada seluruh anggota FPI untuk menutup dan memusnahkan tempat maksiat, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengganjarnya dengan hukuman penjara 7 (tujuh) bulan penjara. Dalam kaitan dengan organisasinya, tentu hal itu menjadi bukti bahwa secara kelembagaan Front Pembela Islam telah menggunakan cara-cara kekerasan dan main hakim sendiri dalam mewujudkan cita-citanya.

Kalau dalam pernyataanya Habieb Rizieq mengungkapkan bahwa FPI menghormati kebebasan beragama namun melawan penistaan agama, tentu pernyataan itu sepertinya hanyalah alasan semata. Kenapa ? Karena FPI pun pernah melakukan penyerbuan terhadap Sekolah Khatolik Sang Timur Tangerang Banten dengan disertai acungan senjata dan pengusiran paksa terhadap para suster-suster yang dianggapnya kafir. Dengan bukti ini kita jadi bertanya, bukankah penyerangan dan pengusiran paksa para suster yang notabene merupakan umat agama lain ini sangat bertentangan dengan statement Habib sendiri serta bertentangan pula dengan ajaran Islam Laqum Dinukum Waliyadin.

Kini marilah kita kembali ke pandangan-pandangan dari Rudi Satrio tentang penangkapan terhadap anggota FPI pada tangal 4 Juni 2008 ini. Adalah hak setiap orang untuk melakukan pembelaan diri, termasuk juga membela orang lain. Dalam konteks ini, pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh Rudi Satrio masuk dalam kategori melakukan pembelaan terhadap orang atau kelompok lain (FPI). Meskipun sah-sah saja, namun sebagai seorang akademisi tentu Rudi Satrio haruslah mengemukakan pandangan-pandangannya dengan mengikuti kaidah-kaidah intelektual obyektif, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Sebagai orang yang tidak berada pada Tempat Kejadian Perkara terjadinya tindak kekerasan itu, tentu Rudi Satrio tidak bisa cukup valid menjelaskan peristiwa hukum yang dimaksud. Dengan modal (kemungkinan) nonton film tragedi 1 Juni versi FPI, dengan mudah Rudi Satrio menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh FPI akibat provokasi yang dilakukan oleh massa dari Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Namun di sisi yang lain, rekaman gambar yang berhasil diabadikan oleh para wartawan dan kemudian ditayangkan dalam media diangap Rudia Satrio terlalu menyudutkan. Pada sisi ini jelas- jelas Rudi Satrio tidak berpegang pada prinsip obyektifitas. Menurut hemat saya, jika terpaksa harus memberikan komentarnya tentang penangkapan para anggota FPI, mungkin akan lebih baik apabila referensi yang digunakan dalam memberikan komentar juga berdasar pada data-data yang dipublikasikan oleh media massa. Ini saya rasa cukup penting, karena dalam setiap peliputan, para wartawan akan memperhatikan azas-azas dalam peliputan suatu berita, khususnya mengenai apa yang disebut dengan cover both side.

Selain itu, pandangan Rudi Satrio yang menyatakan bahwa AKKBB memprovokasi massa FPI juga tidak mencerminkan dirinya sebagai seorang akademis dan ahli hukum. Membela seseorang atau kelompok sembari melemparkan kesalahan pada seseorang atau kelompok lain adalah sebuah pembelaan yang tidak bertanggung jawab. Andaikan logika yang dipakai oleh Rudi Satrio tersebut dibenarkan dan kemudian digunakan oleh jutaan masyarakat Indonesia untuk dalih dalam melakukan penyerangan dan pembakaran terhadap massa FPI, apakah para penyerang dan pembakar yang main hakim sendiri itu dapat dibenarkan ? Tentu jawabannya adalah tidak benar.

Oleh karena itu, tindakan cepat yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam menangkap para anggota FPI yang diduga melakukan tindak kekerasan adalah langkah yang sangat tepat. Dan sebagai warga negara, bantuan kita akan lebih bermakna jika kita wujudkan dalam bentuk memberikan bukti-bukti tambahan yang dapat mendorong terwujudnya keadilan. Artinya, kita akan lebih melihat pada apa yang dilakukannya, bukan pada siapa yang melakukannya, baik itu FPI, AKKBB, maupun yang lainnya.

Dan sebagai penutup, tugas kita yang utama adalah terus mendorong para aparat negara untuk segera memujudkan rasa aman bagi seluruh warga negaranya. Mempersoalkan pembubaran FPI adalah sama saja dengan membiarkan kekerasan demi kekerasan tetap berlangsung. Sampai saat ini mungkin belum jelas benar bentuk organisasi dari FPI. Meskipun ini kelihatan hal sepele, namun memiliki implikasi yang cukup serius apabila dikaitkan dengan kewenangan untuk melakukan pembubarannya. Dan perdebatan itulah yang nanti akan membutuhkan waktu yang panjang dan dapat membawa negara pada posisi ”pembiaran” pada setiap kekerasan-kekerasan yang terjadi. Oleh karena itu, langkah paling tepat yang harus dilakukan oleh negara adalah menindak sesuai hukum siapapun yang melakukan tindak-tindak kekerasan dan berbuat secara melawan hukum. Dan bagi pelaku-pelaku tindak kekerasan yang diproses, akan lebih baik apabila tersadar dan siap keluar dari organisasi apapun yang dirasa melanggengkan budaya-budaya kekerasan. Apalagi apabila mereka yang diproses hukum tersebut adalah pimpinan-pimpinan dari sebuah kelompok atau organisasi, membekukan atau membubarkan diri kelompok atau organisasi yang dipimpinnya tentu akan menjadi sebuah alasan pemaaf bagi aparat penegak huku untuk meringankan hukumannya. Semoga Indonesia ke depan semakin damai.

Jakarta, 4 Juni 2008



Baca Selengkapnya...


Free chat widget @ ShoutMix