<data:blog.pageTitle/>

23 Juli 2007

Tindak Yang Anarkis

13/06/2006 | Nasional
Presiden SBY menyatakan pemerintah akan menertibkan dan menjatuhkan sanksi bagi organisasi massa (ormas) yang memakai cara anarkis untuk mewujudkan keinginannya. "Presiden akan menggunakan peraturan yang berlaku untuk melakukan itu semua. Agama tidak mengajarkan kekerasan. Ada beberapa ormas yang menggunakan lebel agama cenderung membenarkan kekerasan", ujar Sekjen Presidium Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Sonny T Danapramita seusai bertemu Presiden di Jakarta.
Menko Polhukam juga mengungkapkan rencana pemerintah bersama aparat penegak hukum untuk menindak ormas yang berbuat anarkis. Penertiban dan penindakan didasarkan pada UU No.8 Tahun 1985 tentang Organisasi kemasyarakatan. "Ini kami lakukan untuk menegakkan supremasi hukum. Pemerintah ingin menjamin rasa aman masyarakat" tegasnya. Ketua Badan Kontak Majelis Taklim Tuty Alawiyah usai bertemu Wapres Jusuf Kalla di kantornya menyarankan pemerintah melakukan persuasi terhadap ormas-ormas seperti itu daripada memakai cara kohesif seperti pembubaran. "Kalau memang tidak ada jalan keluar, mungkin bisa saja dibubarkan. Tapi harus melihatnya adakah solusi yang terbaik untuk menyelesaikannya", ujar Tuty. Ketua Umum PB NU Hasyim Muzadi minta agar ormas yang kerap melakukan kekerasan jangan dibubarkan begitu saja."Penindakan hendaknya tidak dengan langsung membubarkan. Pemerintah hendaknya memanggil dulu dan memberi mereka waktu untuk berubah", ujarnya di Surabaya. (Kompas, 14/6/06) Baca Selengkapnya...

Kenaikan Harga BBM Timbulkan Ekses Hukum

Berita


[4/3/05]

Polisi dan jaksa menjerat demonstran yang menentang BBM dengan pasal KUHP tentang penghinaan presiden. Sebaliknya, demontran menilai Presiden-lah yang melanggar sumpah jabatan. Bahkan, sebuah gugatan terhadap Presiden sudah didaftarkan di PN Jakarta Pusat.

Kenaikan harga BBM nyaris selalu membawa ekses hukum. Kemarin 52 orang mahasiswa yang berdemontrasi menentang kenaikan harga BBM ditangkap aparat Polres Jakarta Pusat. Mereka diperiksa hingga Jum’at (4/3) pukul 05.00 pagi. Dua di antaranya sudah dijadikan tersangka dengan tuduhan pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan.


Tim kuasa hukum ke-52 mahasiswa itu langsung mengecam tindakan polisi. “Aparat hukum, terutama polisi, telah menjadi perpanjangan tangan Pemerintah untuk membungkam masyarakat yang memperjuangkan hak-haknya,” tandas Hermawanto, kuasa hukum mahasiswa dari LBH Jakarta.

Sebenarnya, mereka yang dijerat pasal 335 KUHP relatif masih ‘beruntung’ dibanding Monang Johannes Tambunan. Beberapa jam sebelum ke-52 orang mahasiswa itu ditangkap, Monang justeru harus duduk di kursi pesakitan PN Jakarta Pusat (3/3). Jaksa penuntut umum Ledrik VMT dan Edi Saputra mendakwa Monang telah melakukan perbuatan dengan sengaja menghina Presiden SBY. Ia dijerat dengan dua pasal sekaligus: 134 dan 136 bis KUHP.

Monang dituduh menghina Presiden saat ikut berdemontrasi di depan Istana Negara pada 26 Februari lalu. Dalam berkas dakwaan jaksa disebutkan bahwa kala berorasi Monang mengucapkan kata-kata kasar yang masuk kategori menghina Presiden. Apalagi setelah mengucapkan “SBY anjing, SBY babi”, Monang meludah. Penghinaan itu makin berat kualitasnya karena disampaikan lewat pengeras suara, sehingga didengar banyak orang.

Meskipun Monang hanya menyebut singkatan SBY, jaksa haqulyakin yang dimaksud adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yakni presiden terpilih sesuai SK KPU No. 98/SK/KPU/tahun 2004.



Melanggar sumpah jabatan

Tuduhan jaksa itulah yang membuat Presidium GMNI berang. Tuduhan penghinaan kepala negara yang dialamatkan kepada mereka yang kritis sama saja menjadikan demokrasi di alam mimpi.

Melalui Sekretaris Jenderalnya Sonny T Danaparamita, GMNI memprotes keras penggunaan pasal 134 KUHP. Dalam sejarahnya, pasal 134 KUHP memang sudah banyak menjerat aktivis, termasuk mereka yang demo menolak kenaikan harga BBM. Di negeri asalnya Belanda, pasal 134 itu sendiri sudah dihapuskan. “Di Indonesia, pasal 134 KUHP kembali menjadi pasal yang siap mengantarkan peradilan kita menjadi peradilan bermotif politik dan yang sesuai dengan selera penguasa,” papar Sonny dalam rilis yang diperoleh hukumonline.

GMNI balik menuding Presiden SBY telah melanggar sumpah jabatan. Keputusan Pemerintah menaikkan harga BBM justeru mengangkangi aturan undang-undang karena diputuskan tanpa konsultasi dan persetujuan DPR. Lagipula, keputusan itu dibuat tanpa terlebih dahulu melakukan perubahan terhadap Undang-Undang No. 36 Tahun 2004 tentang APBN 2005.

Saat mengucapkan sumpah, Presiden sudah menyatakan akan tunduk dan ‘menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya’. Keputusan menaikkan harga BBM di mata GMNI justeru mengabaikan Undang-Undang No. 36 tersebut.



Gugatan Satu Triliun

Bersamaan dengan sidang perkara Monang, 14 pengacara yang tergabung dalam Serikat Pengacara Rakyat (SPR) mendaftarkan gugatan di Kepaniteraan PN Jakarta Pusat. Para pengacara itu mewakili warga masyarakat yang menolak keputusan Pemerintah menaikkan harga BBM.

Penggugat menilai bahwa argumen Pemerintah –dalam hal ini Presiden dan Wakil Presiden—menaikkan harga BBM adalah salah. Keputusan menaikkan harga BBM justeru semakin menyengsarakan rakyat kecil. Seharusnya, kata penggugat, Pemerintah lebih mengedepankan upaya mengejar aset para koruptor dan mengembalikannya ke negara. Kenaikan harga BBM telah melanggar pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, SPR meminta tergugat membayar ganti rugi Rp1 triliun. Ganti rugi itu akan dibagikan kepada seluruh rakyat.

(Mys)
Baca Selengkapnya...

Perbedaan Politik jangan Jadi Alasan Berkonflik

Denpasar (Bali Post) -
Generasi muda mesti berani menjadi pelopor bahwa berbeda itu karunia Tuhan yang mesti disyukuri. Dengan demikian perbedaan dalam politik dan kehidupan berdemokrasi agar diterima sewajarnya. Tidak dijadikan alasan untuk berkonflik dalam arti permusuhan, apalagi dibarengi nafsu untuk saling meniadakan.

Hal itu dikatakan dosen Ilmu Pemerintahan Fisipol Unwar I Nyoman Wiratmaja saat seminar regional dan konfercab I GMNI Cabang Badung, di Monumen Perjuangan Rakyat Bali, Sabtu (27/5).


Dikatakan, generasi muda masih cukup diandalkan untuk menegakkan demokrasi dan integrasi di Indonesia. Generasi muda sering diasumsikan memiliki perilaku politik yang khas, karena memiliki idealisme yang tinggi untuk memihak rakyat atau kepentingan umum. Mereka lebih bebas dan mandiri dalam menentukan pilihan politik dan sebagainya.

Namun, kata Wiratmaja, dalam era reformasi generasi muda tidak lagi diharapkan hanya berperan sebatas pembaru legitimasi politik atau sebagai objek kegiatan politik. Generasi muda mesti mulai memberdayakan dirinya sehingga diperhitungkan sebagai subjek dari segala aktivitas pembangunan.

Generasi muda juga diharapkan berusaha menghilangkan stigma yakni seringkali terperangkap dalam gerakan untuk menggunakan kekerasan atau energi anarkhi secara kolektif. Yang penting lagi, generasi muda mampu menjadi pelopor untuk menumbuhkan budaya memilih dan bukan melestarikan budaya ikut. Artinya, mampu memilih berdasarkan pertimbangan yang rasional, sehingga benar-benar mendukung perwujudan demokrasi yang sehat.

Sementara Sekretaris Jenderal Presidium GMNI Sonny T. Danaparamita mengatakan di republik yang konstitusinya telah dengan jelas menyatakan dan menjunjung prinsip demokrasi, kaum muda mesti menjadi sebuah kekuatan yang kritis. Sudah merupakan tugas bahwa pemuda harus melakukan kritik, kontrol dan pengawasan terhadap segala kebijakan yang menyangkut nasib rakyat.
(08)
Baca Selengkapnya...

Cegah Militer Masuk Kancah Politik --

span style="font-weight:bold;">

Denpasar (Bali Post) -
Kembalinya kekuatan militer dalam kancah politik harus tetap diwaspadai. Terlebih lagi militer yang pro-status quo. Upaya pencegahan dilakukan dengan mengurangi konflik-konflik yang dilakukan elite politik sipil.

Bila yang terjadi adalah kegagalan sipil dalam melakukan pengelolaan negara, kekuatan militer akan memiliki alasan mengambil alih kekuasaan. Demikian terungkap dalam seminar serangkaian Konferensi Cabang DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Denpasar, Sabtu (17/4) lalu di Monumen Perjuangan Rakyat Bali Bajra Sandhi, Renon.

Ketua Presidium GMNI Pusat Sony Primantara, salah satu pembicara memaparkan bahwa kekuatan militer tidak akan menjadi ancaman jika dalam kesadaran rakyat telah terbangun iklim demokrasi yang sehat. Peranan para elite politik sipil yang telah diberikan ruang luas dalam kepemimpinan nasional harus benar-benar dimanfaatkan.

Ketika politisi-politisi sipil justru melahirkan konflik dalam mengelola negara, militer tidak akan segan-segan mengambil kekuasaan negara.

Telebih lagi, kata salah satu peserta seminar, Wayan "Gendo" Suardana, Sekjen Fron Demokrasi Perjuangan Rakyat Bali (Frontier), sampai saat ini sistem hirarkis militer Indonesia paling siap untuk mengambil alih kekuasaan. "Institusi militerlah yang paling siap untuk mengambil alih kekuasaan jika politisi sipil mengalami kegagalan," tegasnya. Namun, lanjut Gendo, yang perlu dicermati adalah masuknya militer ke dalam struktur politik melalui parpol. Semuanya tidak lepas dari "kegenitan" pimpinan parpol sebagai politisi sipil.

Dalam pandangan pengamat politik Tjok. Gde Atmadja, S.H. yang hadir sebagai pembicara, dimasukkannya unsur militer ke dalam struktur partai politik, tidak lepas dari ketidakpercayaan diri para politisi sipil. "Politisi sipil hingga kini belum memiliki kepercayaan diri sehingga mencari figur militer untuk memberikan dukungan," tegasnya.

Terlepas dari persoalan-persoalan di atas, Sony menekankan bahwa kultur budaya masyarakat Indonesia juga memberi andil bagi tetap bertahannya kekuatan militer dalam politik. Banyak kemampuan yang tidak dimiliki oleh sipil dalam mengelola sebuah negara namun dimiliki oleh seorang figur militer. Salah satunya dalam soal kedisiplinan.

Hanya, lanjut Sony, demokrasi yang dipahami militer sebatas apa kata komandan atau pimpinannya. Hal ini sangat riskan bagi sebuah kehidupan demokrasi yang ideal. Karenanya kepemimpinan negara oleh figur militer masih rentan dengan beberapa persoalan.


GMNI Lain

Sementara itu, digelarnya Konfercab DPC GMNI Denpasar, Sabtu lalu, membuktikan adanya perpecahan di dalam tubuh GMNI Denpasar. Sehari sebelumnya (Jumat, 16/4) bertempat di Balai Diklat Propinsi Bali, DPC GMNI Denpasar pimpinan IDP Singarsa yang bekerja sama dengan Forum Komunikasi Alumni (FKA-GMNI) Bali menggelar dialog bertajuk "Obrolan Bali Mandiri".

Seminar dan konfercab di Bajra Sandhi digelar DPC GMNI Denpasar di bawah Ketua Dewan Caretaker-nya Agustinus. Sejumlah pengurus dari kedua DPC GMNI yang diminta konfirmasinya atas perpecahan ini, tidak banyak memberikan penjelasan. Kedua belah pihak nampak memiliki dan meyakini sebagai GMNI yang sah. (kmb14)
Baca Selengkapnya...

JPU: Salah Ketik Dakwaan Aktivis GMNI Bukan Hal Fatal

Senin , 14/03/2005 16:22 WIB


Jakarta, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menilai salah ketik dalam dakwaan terhadap aktivis GMNI Monang Tambunan, terdakwa penghinaan terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bukan merupakan hal yang fatal. Kesalahan itu merupakan ketidaksengajaan.

Hal itu disampaikan JPU yang dipimpin Edi Saputra, dalam sidang Monang Tambunan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jl. Gajah Mada, Jakarta, Senin (14/3/2005). Sidang diisi tanggapan JPU terhadap eksepsi terdakwa dan penasihat hukum.

Monang dan kuasa hukumnya dalam eksepsi sebelumnya mempersoalkan salah ketik dalam dakwaan. Menurut Monang, salah ketik itu meliputi tahun kejadian perkara penghinaan yang ditulis 29 Januari 2004, padahal seharusnya yang benar 29 Januari 2005.

Selain itu, salah ketik juga terjadi pada penulisan identitas, yakni umur dan alamat. Umur Monang seharusnya 26 tahun tapi ditulis 24 tahun. Sedangkan alamat seharusnya Jl. Jengkol, tapi ditulis Kampung Jengkol.

"Salah pengetikan itu bukan hal yang fatal karena sudah ada nomor registrasi yang benar sesuai tahun yakni 2005," kata Edi Saputra.

Edi kecewa dengan keputusan hakim yang menunda sidang hingga 17 Maret 2005 karena salah ketik itu. Salah ketik itu, katanya hanya merupakan ketidaksengajaan. "Tak mungkin karena hanya ketidaksengajaan sidang ditunda. Keadilan tetap harus ditegakkan," katanya.

Sementara itu, sejumlah anggota GMNI yang menghadiri sidang itu membagi-bagikan selebaran yang isinya meminta Monang dibebaskan. Menurut GMNI, pasal 134 KUHP tentang penghinaan terhadap Kepala Negara yang dijeratkan pada Monang hanya merupakan kepentingan penguasa. GMNI menuntut agar pasal 134 KUHP itu dicabut.

Sekjen GMNI, Sonny Tri Danaparamita menyatakan perkataan Monang yang menyebut Presiden SBY sebagai "babi" dan "anjing" merupakan hal biasa. "Itu hal biasa yang sering dilakukan di lingkungan di GMNI. Babi itu singkatan bapak bingung. Dan anjing itu kiasan terhadap kebijakan pemerintah," kata Sony. (iy/) Baca Selengkapnya...

Sekjen GMNI:Presiden akan rombak kabinet sepulang dari tanah suci

Sabtu, 24 Februari 2001


Jakarta, Kompas

Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) akan merombak kabinet sepulang dari Tanah Suci. Selain itu, Presiden Abdurrahman Wahid juga memberi waktu tiga pekan kepada Jaksa Agung Marzuki Darusman untuk "menangkap 10 penjahat besar" seperti pernah dikemukakan Presiden sebelumnya.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Presidium Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Sonny Tri Danaparamita mengemukakan hal itu kepada para wartawan di Jakarta, Kamis (22/2) siang. Dia menjelaskan, Presiden Abdurrahman Wahid mengemukakan hal itu ketika bertemu dengan delegasi GMNI, Sonny, I Gede Budiatmika, Purwanto, Sholi Saputra, dan Susilo Eko Prayitno di rumah Haji Masnuh di Jalan Irian 7, Jakarta Pusat, Rabu, antara pukul 18.00-18.30

"Beliau mengatakan, akan merombak kabinet sepulang dari Tanah Suci. Beliau juga telah memberi waktu tiga pekan terhitung setelah kepulangannya dari Tanah Suci kepada Jaksa Agung, menangkap sepuluh penjahat besar seperti disebut-sebut Gus Dur sebelumnya," jelas Sonny.

Sonny menambahkan, dalam dialog Presiden juga menjamin dan meyakinkan rakyat bahwa polarisasi kekuatan antarkelompok yang terjadi saat ini tidak akan mengakibatkan situasi chaos.

Menurut Sonny, Presiden Abdurrahman Wahid juga mendukung sikap politik Presidium GMNI yang menolak segala upaya pengamandemenan Pembukaan UUD 1945, pembersihan sisa-sisa kekuatan rezim Orde Baru (Orba) yang masih berada di seluruh institusi politik dan ekonomi, "Dan tidak ada kompromi politik dengan kekuatan tersebut agar tidak membiaskan jalannya reformasi total akibat politik cuci tangan," tandas Sonny. (win) Baca Selengkapnya...

Pulang Haji, Gus Dur Akan Rombak Kabinet



Jakarta, 22 Pebruari 2001 15:32
Para menteri boleh dag dig dug. Sebab Presiden Abdurrahman Wahid sudah memberi aba-aba akan me-reshuffle kabinet, sepulang dari lawatannnya ke luar negeri. Rombongan presiden diperkirakan akan tiba di tanah air pertengahan Maret depan.

Isyarat Gus Dur itu disampaikan pada pertemuan dengan Presidium Gerakan Nasional Mahasiswa Indonesia (GMNI), di Jl Irian No 7, Menteng, Rabu petang. Hasil pertemuan tersebut kemudian diumumkan pada pers Kamis, oleh Sekjen GMNI, Sonny Tri Danaparamita.

Janji merombak kabinet itu disampaikan presiden, setelah pihak GMNI menyampaikan kritik bahwa agenda reformasi kini mandeg, karena terhambat kinerja kabinet yang terlalu mementingkan kompromi politik. Atas dasar itu, GMNI menyarankan agar kabinet dirombak. Gus Dur ternyata sependapat, dan berjanji akan mereshuffle kabinetnya setelah menunaikan haji dan kembali ke tanah air.

Menurut Sony, Gus Dur tidak menyebut menteri-menteri mana yang akan diganti. Cuma diisyaratkan, Gus Dur bakal merekrut personel TNI atas dasar pilihannya sendiri, bukan karena masukan atau desakan dari militer. Baca Selengkapnya...

Indonesian gov't to act against organizations given to violence

font size ZoomIn ZoomOut

Indonesian President Susilo Bambang Yudhoyono said that the government would impose sanctions on mass organizations that use violence to reach their goals, a students organization said here Tuesday.

The president disclosed the government's intention when receiving a delegation of the Indonesian National Students Movement (GMNI) on Tuesday, Antara news agency quoted Sonny T Danaparamita, GMNI's secretary general, as saying.

At the meeting, the president expressed the government's determination to act against any party found conducting anarchic actions.

Meanwhile, presidential spokesman Anda Malarangeng said the president normatively conveyed the government's determination to act according to the law against anyone or any group who takes the law into their own hands and conduct anarchic actions.

Source: Xinhua Baca Selengkapnya...

Sejarah gmni

SEJARAH SINGKAT
GERAKAN MAHASISWA NASIONAL INDONESIA
lahir sejak September 1953,
berdiri sejak 22 Maret 1954



SEJARAH SINGKAT
GERAKAN MAHASISWA NASIONAL INDONESIA
[ GMNI ]

Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, atau disingkat GMNI, lahir sebagai hasil proses peleburan 3 (tiga) organisasi mahasiswa yang berazaskan Marhaenisme Ajaran Bung Karno. Ketiga organisasi itu ialah:

1.GERAKAN MAHASISWA MARHAENIS, berpusat di Jogjakarta
2.GERAKAN MAHASISWA MERDEKA, berpusat di Surabaya
3.GERAKAN MAHASISWA DEMOKRAT INDONESIA, berpusat di Jakarta.

Proses peleburan ketiga organisasi mahasiswa mulai tampak, ketika pada awal bulan September 1953, Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (GMDI) melakukan pergantian pengurus, yakni dari Dewan Pengurus lama yang dipimpin Drs. Sjarief kepada Dewan Pengurus baru yang diketuai oleh S.M. Hadiprabowo.

Dalam satu rapat pengurus GMDI yang diselenggarakan di Gedung Proklamasi, Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, tercetus keinginan untuk mempersatukan ketiga organisasi yang seazas itu dalam satu wadah. Keinginan ini kemudian disampaikan kepada pimpinan kedua organisasi yang lain, dan ternyata mendapat sambutan positip.

Setelah melalui serangkaian pertemuan penjajagan, maka pada Rapat Bersama antar ketiga Pimpinan Organisasi Mahasiswa tadi, yang diselenggarakan di rumah dinas Walikota Jakarta Raya (Soediro), di Jalan Taman Suropati, akhirnya dicapai sejumlah kesepakatan antara lain:

1. Setuju untuk melakukan fusi
2. Wadah bersama hasil peleburan tiga organisasi bernama "Gerakan Mahasiswa
Nasional Indonesia " (GMNI).
3. Azas organisasi adalah: MARHAENISME ajaran Bung Karno.
4. Sepakat mengadakan Kongres I GMNI di Surabaya, dalam jangka waktu enam bulan
setelah pertemuan ini.

Para pimpinan tiga organisasi yang hadir dalam pertemuan ini antara lain:

1. Dari Gerakan Mahasiswa Merdeka:
- SLAMET DJAJAWIDJAJA
- SLAMET RAHARDJO
- HERUMAN
2. Dari Gerakan Mahasiswa Marhaenis:
- WAHYU WIDODO
- SUBAGIO MASRUKIN
- SRI SUMANTRI MARTOSUWIGNYO
3. Dari Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia:
- S.M. HADIPRABOWO
- DJAWADI HADIPRADOKO
- SULOMO

PENTING: Baca Pidato SM. Hadiprabowo di Kongres V Salatiga 1969


Hasil kesepakatan tersebut, akhirnya terwujud.
Dengan direstui Presiden Sukarno, pada tanggal 22 Maret 1954, dilangsungkan KONGRES I GMNI di Surabaya. Momentum ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi GMNI (Dies Natalis) yang diperingati hingga sekarang. Adapun yang menjadi materi pokok dalam Kongres I ini, selain membahas hasil-hasil kesepakatan antar tiga pimpinan organisasi yang ber-fusi, juga untuk menetapkan personil pimpinan di tingkat pusat.

Sehubungan dengan banyak persoalan yang sebenarnya belum terselesaikan dalam forum Kongres I, maka dua tahun kemudian (1956), GMNI kembali menyelenggarakan KONGRES II GMNI di Bandung, dengan pokok persoalan di seputar masalah konsolidasi internal organisasi. Sebagai hasil realisasi keputusan Kongres II ini, maka Organisasi cabang GMNI mulai tertata di beberapa kota.

Akibat dari perkembangan yang kian meningkat di sejumlah basis organisasi, tiga tahun setelah Kongres II, GMNI kembali menyelenggarakan KONGRES III GMNI di Malang tahun 1959, yang dihadiri sejumlah Utusan cabang yang dipilih melalui Konperensi Cabang masing-masing. Berawal dari Kongres III ini, GMNI mulai meningkatkan kiprahnya, baik dalam lingkup dunia perguruan tinggi, maupun ditengah-tengah masyarakat.

Dalam kaitan dengan hasil Kongres III ini, masih pada tahun yang sama (1959) GMNI menyelenggarakan Konperensi Besar GMNI di Kaliurang Jogjakarta, dan Presiden Sukarno telah berkenan ikut memberikan Pidato Sambutan yang kemudian dikenal dengan judul "Hilangkan Steriliteit Dalam Gerakan Mahasiswa !".

Untuk lebih memantapkan dinamika kehidupan pergerakan GMNI, maka direncanakan pada tahun 1965 akan diselenggarakan Kongres V GMNI di Jakarta. Namun Kongres V tersebut gagal terlaksana karena gejolak politik nasional yang tidak menentu akibat peristiwa G30S/PKI. Kendati demikian, acara persiapannya sudah sempat direalisiir yakni Konperensi besar GMNI di Pontianak pada tahun 1965. Dalam Konferensi besar ini telah dihasilkan kerangka Program Perjuangan, serta Program Aksi bagi Pengabdian Masyarakat.

Dampak peristiwa G30S/PKI bagi GMNI sangat terasa sekali, sebab setelah peristiwa tersebut, GMNI dihadapkan pada cobaan yang cukup berat. Perpecahan dalam kubu Front Marhaenis ikut melanda GMNI, sehingga secara nasional GMNI jadi lumpuh sama sekali. Di tengah hantaman gelombang percaturan politik nasional yang menghempas keras, GMNI mencoba untuk bangkit kembali melakukan konsolidasi. Terlaksana KONGRES V GMNI di Salatiga tahun 1969 (yang seharusnya di Jakarta tetapi gagal dilaksanakan). Namun Kongres V ini tetap belum bisa menolong stagnasi organisasi yang begitu parah.

Namun demikian kondisi ini tampaknya telah membangkitkan kesadaran kesadaran baru dikalangan warga GMNI, yakni kesadaran untuk tetap bergerak pada kekuatan diri sendiri, maka mulai 1969, thema "Independensi GMNI" kembali menguasai lam pikiran para aktivis khususnya yang berada di Jakarta dan Jogjakarta. Tuntutan Independensi ini mendapat reaksi keras, baik dari kalangan Pimpinan Pusat GMNI maupun dari PNI/Front Marhaenis. Tuntutan independensi ini sebenarnya merupakan upaya GMNI untuk kembali ke "Khittah" dan "Fitrah" nya yang sejati. Sebab sejak awal GMNI sudah independen. Tuntutan ini sesungguhnya sangat beralasan dan merupakan langkah antisipasi, sebab tidak lama kemudian terjadi restrukturisasi yang menyebabkan PNI/FM berfusi kedalam PDI.

Setelah gejolak politik reda GMNI kembali memanfaatkan momentum tersebut untuk membangun kembali organisasinya. Dilaksanakan KONGRES VI GMNI di Ragunan-Jakarta tahun 1976, dengan thema pokok: "Pengukuhan Independensi GMNI serta Konsolidasi Organisasi". Hal lain yang patut dicatat dalam Kongres VI ini adalah penegasan kembali tentang Azas Marhaenisme yang tidak boleh dicabut oleh lembaga apapun juga, serta perubahan model kepemimpinan kearah kepemimpinan kolektif dalam bentuk lembaga Presidium.

Selain itu, Kongres VI mempunyai arti tersendiri bagi GMNI, sebab mulai saat itu telah terjadi regenerasi dalam keanggotaan GMNI, yang ditandai dengan munculnya sejumlah pimpinan basis dan cabang dari kalangan mahasiswa muda yang tidak terkait sama sekali dengan konflik internal PNI/FM di masa lalu.

Mengingat persoalan konsolidasi meliputi berbagai aspek, maka masalah yang sama dibahas pula dalam KONGRES VII GMNI di Medan tahun 1979. dalam Kongres VII ini kembali ditegaskan bahwa: Azas organisasi tidak boleh diubah, Independensi tetap ditegakkan, dan konsolidasi organisasi harus seimbang dengan konsolidasi ideologi.

Titik cerah bagi GMNI yang mulai bersinar di tahun 1979 ternyata tidak berlangsung lama. Intervensi kekuatan diluar GMNI, yang memang menginginkan GMNI lemah, dengan berpadu bersama 'interest pribadi' segelintir oknum pimpinan GMNI, telah mengundang malapetaka terhadap organisasi mahasiswa ini.

Kongres VIII GMNI yang sedianya akan diselenggarakan di Jogjakarta mengalami kegagalan karena diprotes oleh sejumlah cabang (Jakarta, Medan, Malang, Manado, Bandung, dan lain-lain), karena tercium indikasi kecurangan untuk memenangkan aspirasi pihak luar dalam Kongres VIII itu. tetapi usaha filtrasi dan perlemahan GMNI tetap berlangsung sewaktu KONGRES VIII GMNI di Lembang-Bandung tahun 1982.

Hanya dengan pengawalan ketat dari aparat negara Kongres VIII tersebut bisa berlangsung, dan dimenangkan oleh segelintir oknum pimpinan GMNI tadi, namun dampaknya bagi organisasi sangat besar sekali.

Presidium GMNI hasil Kongres VIII terpecah-belah, dan disusul perpecahan berangkai semua cabang. Program Kaderisasi, regenerasi akhirnya macet total.

KONGRES IX GMNI di Samarinda tahun 1985 gagal menampilkan wajah baru dalam struktur kepemimpinan GMNI, disamping kegagalan dalam proses pembaharuan pemikiran seta operasioniil program.

Perpecahan ini akhirnya menjalar ke berbagai struktur organisasi dan mencuat dalam KONGRES X GMNI di Salatiga tahun 1989, yang diwarnai kericuhan fisik. Dampak dari kegagalan regenerasi dan kaderisasi Kongres X akhirnya hanya menampilkan wajah lama dalam struktur kepemimpinan GMNI.

Dan yang lebih menyedihkan lagi, para oknum pimpinan GMNI di tingkat Pusat terjebak dengan kebiasaan saling "pecat-memecat". Identitas sebagai organisasi perjuangan menjadi luntur, sebab yang lebih menonjol justru perilaku sebagai "birokrat GMNI". untuk mempertahankan status quo, dan sekaligus untuk melestarikan budaya tadi, oknum-oknum pimpinan pusat mulai mengintrodusiir apa yang disebut "Komunitas Baru GMNI" yang ditetapkan melalui deklarasi Jayagiri. Inilah cobaan yang terberat dihadapi GMNI. Sebab organisasi ini tidak hanya terperangkap dalam konflik kepentingan perorangan yang bersifat sesaat, tetapi juga mulai mengalami erosi idealisme, serta kegersangan kreativitas dan inovasi.

Secara nasional formal, kesadaran untuk memperbaiki arah perjuangan tampaknya belum muncul. Pada KONGRES XI GMNI di Malang tahun 1992, kejadian di Salatiga kembali terulang. Sementara suara-suara cabang yang menuntut otonomi semakin nyaring dan meluas.

Kondisi ini kemudian melahirkan format baru dalam tata hubungan antar kader pejuang pemikir-pemikir pejuang yakni: hubungan kejuangan yang bersifat personal-fungsional. Sebab hubungan formal-institusional tidak efektif lagi.

"Perlawanan" cabang-cabang kembali dilakukan di KONGRES XII GMNI di Denpasar Bali tahun 1995, tetapi keberhasilan hanya pada tingkatan materi program. Dimana kemudian dikenal dan dimunculkan kembali di AD/ART mengenai Azas perjuangan "Sosialis Religius - Progressif Revolusioner" yang membuat banyak pihak terkejut-kejut, tetapi 'kekalahan' terjadi pada pertempuran perebutan pimpinan nasional yang kembali di-warnai oleh intervesi 'orang-orang lama' GMNI. Isu money-politics sangat kental di forum Kongres XII ini.

Disaat cabang-cabang kembali mulai menata diri, perpecahan kembali melanda Presidium hasil Kongres XII Bali, saling boikot dan intrik menjadi makanan utama sehari hari di sekretariat pusat GMNI Wisma Marinda. Pada saat itu cabang-cabang tidak ambil pusing dengan tetap bergerak menguatkan garis ideologi yang mulai kurang tersentuh. Dimulai dengan dialog dan pembongkaran wacana mengenai Marhaenisme di Jogja dan kemudian dilanjutkan di Surabaya 14-17 Juli 1998. cabang-cabang semakin memantapkan hubungan dengan tidak menghiraukan perpecahan yang terjadi di tingkat pusat.

Ketika terjadi pergerakan massiv mulai Mei 1998, cabang-cabang dapat 'berbicara banyak' di tingkat kota masing-masing, tetapi tidak begitu halnya dengan GMNI di tingkat nasional. Perubahan politik di tingkat nasional rupanya semakin 'tidak menyadarkan pimpinan GMNI'. Perpecahan ini memuncak saat beberapa oknum pimpinan GMNI ikut mendaftarkan diri menjadi calon legislatif PDI Perjuangan. Cabang-cabang bereaksi keras dengan menarik dukungannya terhadap pimpinan nasional saat itu.

Kongres XIII GMNI yang sedianya dilaksanakan di Kupang-NTT mendapatkan protes keras dari cabang-cabang karena prosesnya yang tidak konstitusionil dan penuh rekayasa; termasuk perilaku 'saling membubarkan' efek dari perpecahan Presidium. Akhirnya Kongres tersebut terselenggara dengan diboikot 19 cabang antara lain Medan, Bandung, Jogjakarta, Solo, Semarang, Surabaya, Jember, Malang, Denpasar, Pontianak, Manado dll.

Perlawanan cabang-cabang atas tegaknya konstitusi GMNI terus diusahakan, lewat pertemuan-pertemuan antar Pimpinan Cabang di Malang, Surabaya, Jember, Semarang hingga Lokakarya Nasional GMNI di Solo Januari 2000 yang menghasilkan draft pemikiran pembaharuan GMNI untuk kembali ke azas Marhaenisme dan mencanangkan diselenggarakannya Kongres Luar Biasa (KLB) GMNI untuk menjembatani segala perpecahan yang ada.

KLB GMNI, Februari 2001, dipenuhi nuansa / keinginan untuk pembaharuan oleh DPC-DPC. Semangat itu terakumulasi lewat rekomendasi untuk "rekonsiliasi" dengan kelompok "kupang". Pelan tapi pasti, semoga GMNI tetap jaya....!!

Hubungan interpersonal antar aktivis GMNI di cabang-cabang semakin erat dan muncul kerinduan kembali akan "Nilai Dasar Perjuangan" yang selama ini ditinggalkan.

Sanggupkah GMNI meraih kembali momentum yang jaya gemilang..?. Perjuangan kita persama yang akan menjawabnya.(end)
#dari berbagai sumber#
Baca Selengkapnya...

Presiden Akan Beri Sanksi Ormas Anarkis
Selasa, 13 Juni 2006 | 18:12 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan memberikan hukuman atau sanksi kepada organisasi masyarakat atau siapapun yang menggunakan anarkisme (kekerasan) untuk mencapai tujuannya.

Hal ini disampaikan Presiden kepada sejumlah pengurus Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang menemuinya sore tadi di Kantor Presiden, Jakarta.

Kepada GMNI, Presiden juga mengatakan akan menertibkan ormas-ormas atau kelompok-kelompok yang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya. Presiden mengakui telah memerintahkan jajaran di kabinetnya untuk segera menyelesaikan masalah tersebut.

Sekretaris Jendearal Kongres Medan GMNI, Sonny T Danaparamita, mengatakan Presiden akan menggunakan peraturan perundangan yang berlaku untuk menindak ormas-ormas yang anarkis tersebut.

sunariah Baca Selengkapnya...

National

06/13/06 22:12
Govt to act against mass organizations given to violence

Jakarta (ANTARA News) - President Susilo Bambang Yudhoyono is reported to have said that the government would impose sanctions on mass orgnizations that use violence to reach their goals, including the FPI (Islam Defenders Front) and FBR (Betawi Brotherhood Forum).

Sonny T Danaparamita, secretary general of the Indonesian National Students Movement (GMNI), said here Tuesday the President had disclosed the government`s intention when receiving a GMNI delegation at his office earlier in the day,

At the meeting the President expressed the government`s determination to act against any party found conducting anarchic actions.

Presidential spokesman Anda Malarangeng however denied that the President had mentioned the names of certain organizations during the meeting with the GMNI delegation.

"The President did not mentioned any names. The President normatively only conveyed the government`s determination to act according to the law against anyone or any group who take the law into their own hands and conduct anarchic actions," he told ANTARA.

Sonny said the President would use existing rules to act against anarchic organizations.

"He will put everything in order and has ordered the concerned ministers in the cabinet to do their parts," he said.

The GMNI delegationl called on the President to report their plan to hold a unity congress in Pangkal Pinang on June 26-30.(*)

Copyright © 2007 ANTARA Baca Selengkapnya...

Baca Selengkapnya...

21 Juli 2007

GMNI Desak Aktivis Monang Dibebaskan

31/01/2005 13:07 WIB Nizmah Fitriyani - detikcom
Jakarta - Presidium Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) mendesak pembebasan aktivis GMNI Monang Tambunan yang ditahan di Polres Jakpus karena diduga telah menghina Presiden SBY dalam demo 100 hari pemerintahan SBY beberapa hari lalu."Kami atas nama Presidium GMNI menolak penangkapan aktivis-aktivis yang memperjuangkan demokrasi," kata Sekjen GMNI Sonny T. Danaparamita dalam pernyataan sikap Presidium GMNI di Jakarta, Senin, (31/1/2005).Karena itu, Presidium GMNI mendesak dibebaskannya seluruh tahanan politik dengan tanpa syarat, sebab hakikat sebuah negara yang demokratis adalah negara yang memberikan perlindungan politik kepada setiap warga negaranya."Jadi, bebaslan saudara Monang Tambunan dan seluruh aktifis pro demokrasi yang ditangkap dan ditahan dengan jeratan pasal karet warisan kolonial," tegasnya.Dia juga meminta, pemerintah mencabut pasal-pasal karet untuk menangkap aktifis pro demokrasi, menolak segala bentuk kriminalitas aktifitas politik, menuntut negara menjamin kemerdekaan berpendapat warga negaranya sesuai dengan deklarasi umum, HAM dan konvensi hak-hak sipil politik dan menyerukan seluruh elemen gerakan untuk bersatu padu mendobrak segala sistem yang anti demokrasi.Sementara itu, aktivis GMNI Monang Tambunan dalam suratnya hari ini dari balik jeruji menyatakan, agar penahanan yang menimpanya tidak menyurutkan semangat dalam menegakkan demokrasi. Berikut petikan surat Monang, Kepada seluruh kawan-kawan gerakan se-Indonesia. Mungkin saat surat ini sampai kepada teman-teman saat ini saya sedang di dalam tahanan. Penjara dan tembok besi tidak bisa menyurutkan semangat kita dalam menegakkan demokrasi di negeri ini.Penahanan ini menjadi titik awal dari matinya demokrasi di negeri ini. Pergerakan rakyat harus tetap terkonsolidasi untuk menentang rezim pemerintahan yang anti demokrasi dan pro penindasan rakyat. Tidak ada kata lain selain dari tetap menggelorakan semangat juang. Selamat berjuang kawan-kawan pergerakan seluruh Indonesia. Merdeka!.(umi) Baca Selengkapnya...

06 Juli 2007

SBY Pastikan Tindak Tegas Ormas Anarkis

Tindakan sejumlah ormas te-lah membuat Presiden SBY prihatin. MMI, FPI, dan FBR dianggap SBY sebagai ormas berlabel agama yang sering-kali menggunakan tindak anarkisme untuk mencapai tujuannya.
Hal itu diungkapkan Sekjen Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Soni Dana-paramita usai diterima Presi-den SBY di Kantor Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Selasa (13/06).
“Mungkin mbak-mbak dan mas-mas sudah tahu ada ormas-ormas memakai label-label agama yang sekarang cenderung menggunakan ke-kerasan. Contoh tadi disebut-kan MMI, FPI, dan FBR,” kata Soni.
Menurut Soni, SBY memasti-kan ormas-ormas pelaku tin-dak anarkisme akan ditertib-kan dan dikenai sanksi.
Jenis sanksinya akan disesuaikan dengan peraturan perunda-ngan yang berlaku.
“Presiden sudah perintahkan jajarannya di kabinet untuk menyelesaikan itu,” kata dia. Namun apakah sanksi terse-but termasuk pembubaran atau tidak, Soni mengaku per-temuan tadi tidak memba-hasnya sampai ke situ.
Soni dan rombongan GMNI datang menghadap SBY untuk mengundang SBY membuka Kongres Persatuan GMNI yang akan berlangsung di Pekan-baru pada 26 Juni 2006.
Pemerintah sendiri memang semakin serius membahas pembubaran ormas bermasa-lah. Ada dua tahapan yang akan ditempuh pemerintah.
“Langkah pertama dapat dibekukan kepengurusannya, kalau sudah dibekukan ke-mudian masih melanggar ma-ka akan dibubarkan organisa-sinya,” ujar Mendagri M Ma’ruf dalam raker dengan Komisi I DPR, di Gedung DPR, Sena-yan, Jakarta, Senin (12/06).
Namun hal tersebut, imbuh Ma’ruf, tidak semudah mem-balik telapak tangan. Menu-rutnya, harus ada koordinasi yang baik antaraparat pene-gak hukum. “Kalau berdasar-kan UU, ada kewenangan pe-merintah yang bersifat pem-binaan terhadap ormas,” jelasnya.
Mengenai rencana revisi UU 18/1985 tentang Ormas, Ma’ruf mengaku sudah berkoordinasi dengan Komisi II DPR. Pemba-hasan revisi rencananya baru akan dilakukan 2007. “Kita juga sudah bicarakan dengan Badan Legislasi (Baleg), tapi mungkin untuk tahun 2006 belum bisa dibahas karena akan menjadi perhatian di tahun 2007,”
Di tempat yang sama, Kapolri Jenderal Pol Sutanto mengata-kan akan melihat AD/ART or-mas yang bersangkutan sebe-lum dilakukan langkah pembu-baran. “Semua masyarakat kan bebas berorganisasi. Tapi kalau melanggar hukum, ya kita tindak,” ujar Kapolri.(dtc)

Baca Selengkapnya...

PRESIDEN AKAN UNDANG 7 PROVINSI KEPULAUAN

29-06-2006

Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono akan mengundang Kepala Daerah dan DPRD dari tujuh daerah termasuk Maluku yang kini memperjuangkan legalitas provinsinya menjadi provinsi kepulauan.


Demikian disampaikan Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu melalui Kepala Biro Hubungan M,Asyarakat (Humas) Provinsi Maluku Drs Michael Rumadjak.“Presiden akan mengundang tujuh Kepala Daerah yang kini memperjuangkan terbentuknya provinsi kepulauan,” ungkap Rumadjak.


Ralahalu sendiri menemui Presiden di Ruang Tunggu VIP Pemda Bandara Dipatiamir Pangkal Pinang. Pertemuannya berlangsung sangat cepat, karena Presiden harus meninggalkan Pangkal Pinang kembali ke Jakarta.


Dalam Kongres Nasional GMNI yang berlangsung di Hotel Tanjung Pesona Kabupaten Bangka Induk, Provinsi Babel dari tanggal 27 Juni sampai dengan 30 Juni 2006, Ralahalu diberi kehormatan menyampaikan makalahnya, dengan judul “Mengelola Wilayah Kepulauan Dalam Bingkai NKRI”.


Ralahalu dalam makalahnya banyak menyampaikan soal urgensitas pembentukan provinsi kepulauan bagi Maluku dan enam provinsi lainnya. Menurut dia, selama ini alokasi anggaran dari Pemerintah Pusat lewat APBN tidak sebanding dengan kebutuhan masyarafkat yang daerahnya berbentuk kepulauan.


Makalah yang dibawakan Ralahalu ini, mendapat sambutan baik dari peserta kongres. Bahkan Sekjen GMNI mengatakan bahwa, GMNI siap mendorong dan memperjuangkan serta mengembalikan karakteristik Indonesia sebagai negara kepulauan.


GMNI juga menyatakan kesiapannya untuk menjadikan perjuangan tujuh provinsi kepulauan sebagai salah satu item rekomendasi Kongres GMNI yang akan disampaikan kepada Presiden RI.


Menurut mereka, perlu ada perhatian Pemerintah Pusat terhadap pulau-pulau terdepan sebagai beranda negara agar kasus Sipadan dan Ligitan tidak terulang lagi. “Kasus seperti ini, dimaknai sebagai kegagalan Bangsa Indonesia dalam mempertahankan keutuhan wilayah NKRI dan hal tersebut tidak boleh terulang kembali di waktu-waktu yang akan datang,” sebut Sekjen GMNI yang dikutip Rumadjak.

http://www.malukuprov.go.id/news.asp?id=138

Baca Selengkapnya...


Free chat widget @ ShoutMix