<data:blog.pageTitle/>

20 November 2007

Kewaspadaan Dini Masyarakat Dalam Mencegah Konflik Horizontal



Sesuai dengan permintaan fasilitator diskusi, pada kesempatan ini saya diminta untuk memberikan pengantar diskusi dengan thema “Kewaspadaan Dini Masyarakat Dalam Mencegah Konflik Horizontal”. Dalam posisi saya sebagai anggota masyarakat, saya sebenarnya agak “canggung:” dengan thema ini. Saya mengatakan canggung mengingat dalam pemahaman saya, ada banyak kasus konflik di Indonesia yang sebetulnya lebih bersifat konflik vertikal (khususnya semenjak era reformasi). Kalaupun ada konflik horizontal, dalam beberapa penelitian yang telah dilakukan menyebutkan bahwa konflik yang terjadi tidak terlepas dari adanya “salah kebijakan” yang diterapkan oleh negara. Dalam kasus-kasus seperti ini, saya dan beberapa kawan sering mengistilahkannya sebagai bencana kebijakan. Artinya bahwa konflik (yang dalam Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dikategorikan sebagai bencana sosial) yang terjadi adalah akibat dari kebijakan salah yang diambil oleh Pemerintah. Sebagai contoh adalah kebijakan pemerintah tentang pemberian dana bantuan langsung kepada masyarakat ataupun pemekaran wilayah yang dalam beberapa kasus sering mengakibatkan adanya pertikaian antar warga.

Selain itu -dalam konteks upaya-upaya pencegahan konflik- thema kewaspadaan dini masyarakat ini seakan-akan meletakkan masyarakat sebagai penanggung jawab utama dalam konflik horizontal yang ada. Sementara dari daftar konflik horizontal yang telah terjadi saat ini, seringkali justru masyarakatlah yang sebenarnya dalam posisi sebagai victim (korban). Namun terlepas dari itu semua, bahwa upaya-upaya mengakhiri konflik yang berdampak destruktif haruslah menjadi komitmen dari kita semua, dan kita semua juga berharap semoga diskusi ini nantinya juga dapat memberikan “rekomendasi” bagi terwujudnya integrasi bangsa ini.

Pengertian Konflik
Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Karl Marx, bahwa semakin tidak merata distribusi sumber daya yang langka dalam masyarakat maka akan semakin besar pula konflik kepentingan antara kepentingan kelompok dominan dan subordinat. Dan semakin sadar kelompok subordinat akan kepentingan kolektif mereka yang sesungguhnya, maka semakin besar pula kemungkinan mereka mempertanyakan legitimasi pola distribusi sumber daya langka yang berlaku. Dan selanjutnya bisa dipastikan bahwa kesadaran kolektif dari pihak yang subordinat akan semakin besar apabila perilaku kelompok dominan semakin mengganggu kelompok subordinat, sehingga pada gilirannya nanti kelompok subordinat menjadi teralienasi yang kemudian membangun ideologi pemersatu untuk melawan kelompok dominan.

Guna mempermudah kita dalam memahami konflik, maka berikut ini saya sampaikan beberapa rumusan mengenai konflik.
Pertama menurut kamus Wikipedia Indonesia. Dalam kamus ini, konflik berasal dari kata Configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.

Kedua, pengertian konflik yang disampaikan oleh Fisher. Dalam pengertiannya, konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individual atau kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan.

Ketiga, teori konflik yang disampaikan oleh Robbins. Menurutnya, konflik sebagai suatu proses yang dimulai ketika suatu pihak merasa ada pihak lain yang memberikan pengaruh negatif kepadanya atau ketika suatu pihak merasa kepentingannya itu memberikan pengaruh negatif kepada pihak lainnya. Dalam pengertian tersebut, wujud konflik itu mencakup rentang yang amat luas, mulai dari ketidaksetujuan samar-samar sampai dengan tindakan kekerasan. Jadi secara sederhana bias dikatakan bahwa, setiap perbedaan itu sesungguhnya merupakan potensi konflik, yang apabila tidak ditangani secara baik potensi konflik itu bisa berubah menjadi konflik terbuka.
Secara obyektif, konflik itu dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu konflik fungsional dan konflik disfungsional.
Selanjutnya, pakar ilmu sosial tersebut membagi intensitas konflik menjadi 6 (enam) tingkatan, yakni
  1. Memiliki sedikit ketidaksetujuan atau sedikit kesalahpahaman. Konflik yang paling ringan adalah perbedaan persepsi dan pemahaman terhadap suatu perkara. Perbedaan ini masih tersimpan dalam memori individu atau kelompok yang beriteraksi;
  2. Mempertanyakan sesuat atau hal-hal yang berbeda. Pihak-pihak tertentu sudah mulai mempertanyakan hal-hal yang dianggap berbeda, tetapi belum ada pernyataan bahwa pihak lain itu keliru;
  3. Mengajukan serangan verbal. Pada tingkat ini perbedaan sudah diungkapkan secara terbuka dan sudah ada pernyataan bahwa pihak lain itu keliru, tetapi belum muncul paksaan verbal agar pihak lain itu bersikap seperti apa yang dinginkannya;
  4. Mengajukan ancaman. Disini paksaan verbal sudah mulai muncul, artinya ada suatu upaya agar pihak lain itu bersikap seperti dirinya;
  5. Melakukan serangan fisik secara agresif. Bentuk pemaksaan sudah meningkat dalam bentuk paksaan fisik;
  6. Melakukan upaya-upaya untuk merusak atau menghacurkan pihak lain.

Sedangkan dari sisi jenisnya secara teoritis konflik dapat dibagi menjadi beberapa jenis antara lain;
a. Dari segi pihak yang berkonflik :
  1. Konflik Kelas,
  2. Konflik Etnis/Suku,
  3. Konflik Agama,
  4. Konflik Komunal,
  5. Konflik Negara,
  6. dsb
b. Dari segi masalah/isyu :
  1. Konflik Ekonomi,
  2. Konflik Sumber Daya Alam,
  3. Konflik Agama,
  4. Konflik Kekuasaan,
  5. Konflik Ideologi,
  6. Konflik Budaya.
c. Dari segi posisi yang berkonflik :
  1. Konflik Vertikal,
  2. Konflik Horizontal.
  3. Konflik Diagonal
d. Dari segi akibat:
  1. Konstrukif,
  2. Destruktif.

Dari beberapa teori tersebut, dalam tulisan (diskusi) ini kita hanya akan memberikan batasan (ruanglingkup) konflik sebagai sebuah hubungan yang terjadi antar dua pihak yang tidak sejalan dan bersifat destruktif. Dan karena thema yang diambil adalah konflik yang bersifat horizontal maka fokus diskusi dan beberapa contoh kasus yang akan diketengahkan adalah konflik-konflik yang bersifat horizontal.


Konflik di Indonesia
Dalam sejarah peradaban manusia di dunia, konflik ataupun kekerasan sebenarnya adalah sesuatu yang ada dan berusia hampir sama dengan kehidupan manusia di bumi ini. Tewasnya Habil di tangan Qobil yang notabene adalah saudaranya sendiri merupakan kasus kekerasan yang dilakukan pertama kali dilakukan oleh manusia.

Sebagaimana analisa seorang ilmuwan bernama Sigmund Freud, bahwa manusia tidak akan pernah lepas dari insting dominannya. Insting dominan yang dimaksud adalah insting seksual dan insting mempertahankan diri. Dan teori ini sudah terbukti dengan selalu munculnya konflik dan atau kekerasan di setiap perjalanan sejarah umat manusia.

Demikian juga dengan yang terjadi di bumi pertiwi ini. Dewasa ini, bangsa kita sedang menghadapi ancaman serius yang berkaitan dengan semakin maraknya konflik-konflik yang sedang terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Sebagai sebuah bangsa yang memiliki keanekaragaman budaya, adat-istiadat, bahasa, etnis, agama, dan lain sebagainya, konflik merupakan “sebuah bencana sosial” yang sesungguhnya memang sangat rentan terjadi di republik ini. Pun demikian, praktek sistem kekuasaan Orde Baru yang militeristik, sentralistik, dan hegemonik adalah (menurut pendapat banyak kalangan) pemantik utama yang menyebabkan koflik berkobar dimana-mana.

Sebagaimana yang telah tercatat dalam sejarah, sejak awal republik ini berdiri memang tidak pernah sepi dari yang namanya konflik. Bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka atau menjelang Proklamasi Kemerdekaanpun putra-putri bangsa ini juga seringkali berkubang dalam sebuah “konflik”. Sebagai contoh bisa kita tunjukkan “konflik” yang terjadi antara golongan tua dengan golongan muda hingga mengakibatkan terjadinya penculikan Soekarno oleh Wikana dan kawan-kawannya ke Rengas Dengklok.

Dalam masa-masa kemerdekaanpun konflik juga masih tetap ada. Beberapakali pemberontakan yang terjadi adalah bukti nyata yang ada. Justru konflik mengalami penurunan eskalasi (baik kualitas maupun kuantitas) ketika rezim orde baru berkuasa. Dalam masa ini, segala bentuk penyeragaman dilakukan. Dengan kebijakan pemberangusan hak-hak rakyat untuk mengaktualisasikan diri di segala bidang, konflik justru bisa “diredam”. “ Pluralitas dan kemajemukan sebagai sesuatu yang sebenar-benarnya ada dipaksakan hilang demi stabilitas. Negara melihat bahwa perbedaan adalah petaka. Bhineeka Tunggal Ika dimaknai sebagai perbedaan yang harus diseragamkan. Dengan segenap kekuasaannya pendekatan keamanan digunakan sebagai alat untuk memaksa penerimaan segala tafsir tunggal penguasa. Dalam situasi ini demokrasi adalah sebuah barang mati.

Hegemoni negara yang menghasilkan kedamaian semu diatas memiliki implikasi nyata setelah tumbangnya rezim otoriter tersebut. Konflik merebak dimana-mana dan terjadi dengan sangat luar biasa. Rakyat yang selama 32 tahun terkukung mengalami “liberalisasi” pada saat munculnya gerakan reformasi. “Politik penyeragaman” yang telah dipraktekkan sangat lama oleh penguasa akhirnya juga meracuni pikiran sebagian besar warga negara. Internalisasi nilai dan ideologi dari penguasa kemudian diimprovisasikan sendiri oleh sebagian besar warganya. Karena adanya perbedaan etnis, ratusan dan bahkan mungkin ribuan warga tionghoa menjadi korban keberingasan massa. Hal itupun kemudian menjadikannya sebagai sebuah tragedi kemanusiaan yang cukup besar paska peristiwa 1965. Dan sampai detik ini, konflik demi konflik masih menghiasi lembaran kelam sejarah republik ini. Dari persoalan yang bermotif perebutan sumber daya alam, perbedaan identitas (etnis dan atau agama), hingga perebutan kekuasaan politik (yang salah satu bentuk kongkritnya adalah pilkada) menjadi drama-drama kekerasan yang terjadi hampir di seluruh pelosok negeri.


Mencari Akar Konflik
Dari sebuah penelitian penelitian yang dilakukan oleh Rusmin Tumanggor dkk disebutkan bahwa konflik yang terjadi di Sampit, Sambas, Ambon, Poso dan Ternate meskipun masing-masing mempunyai constraint yang berbeda namun secara umum konflik tersebut terjadi sebagai akibat adanya distribusi (baik ekonomi, sosial dan politik) yang dianggap tidak adil serta bertepatan dengan perbedaan identitas. Konflik Sampit dan Sambas misalnya, banyak dipicu oleh kenyataan bahwa etnis Madura pada taraf tertentu telah menjelma menjadi kelompok yang berhasil menguasai berbagai sumberdaya ekonomi, sementara disisi lain perilaku sosial mereka yang cenderung eksklusif semakin menegaskan komunalitas etnisnya. Maka ketika terjadi gesekan-gesekan sosial dengan etnis Dayak atau Melayu sebagai penduduk asli cukup untuk menyulut sebuah konflik yang massif dan berkepanjangan. Demikian pula halnya yang terjadi di Ambon, Poso dan Ternate dengan isu identitas yang sedikit berbeda (yakni, isu agama dan pada beberapa kasus di Ambon juga dibalut dengan isu etnis, yaitu Buton, Bugis, Makasar dengan penduduk asli).

Data yang berhasil dihimpun peneliti menguatkan teori-teori yang telah ada sebelumnya, dimana konflik yang terjadi umumnya sangat kuat dipengaruhi oleh isu identitas dan isu distribusi. Sebesar 26,4% responden di lima wilayah konflik menyatakan bahwa penyebab konflik dan keretakan hubungan antar warga adalah karena perbuatan atau sikap kelompok identitas (etnis/agama) tertentu yang menyinggung harga diri dan rasa keadilan kelompok identitas (etnis/agama) lainnya. Penghinaan atas keyakinan (agama) dan suku tertentu juga menjadi penyebab konflik yang cukup dominan. Sementara itu, penguasaan lapangan pekerjaan juga turut menjadi faktor utama yang menyebabkan terjadinya konflik. Dari sini bisa kita lihat bahwa faktor-faktor identitas ini bercampur dengan konflik atas pendistribusian sumber daya seperti, wilayah, kekuasaan ekonomi, prospek lapangan kerja dan seterusnya.

Begitu juga dengan maraknya tawuran antar warga atau kelompok yang terjadi di beberapa kota besar di Indonesia, termasuk Jakarta. Perebutan wilayah yang dianggap menghasilkan pendapatan (misalnya area parkir liar) seringkali berujung pada tindakan-tindakan kekerasan. Dengan menggunakan identitas etnis, antar kelompok tersebut seringkali berkonflik dengan diikuti oleh hilangnya nyawa beberapa anggotanya.

Pun demikian dengan konflik-konflik yang diakibatkan oleh perebutan sumber daya kekuasaan. Pemilihan Kepala Daerah yang dilaksanakan secara langsung saat ini kerap kali membawa konflik horizontal dan bahkan vertikal. Hal tersebut bisa dilihat dari berbagai kerusuhan akibat pilkada yang cenderung diwarnai pengrusakan property dari lawan politik maupun barang-barang inventaris negara.


Kewaspadaan Dini Masyarakat sebagai upaya preventif

Dan sekarang kita dihadapkan pada sebuah pertanyaan: “bagaimana menanggulanginya ?”
Sampai saat ini, seringkali para penyelenggara negara (khususnya) mengalami keragu-raguan dalam menangani sebuah konflik. Dalam proses penanganan konflik (baik pra, pada saat terjadi, maupun paska konflik) selalu para pengambil kebijakan dihadapkan pada pilihan yang cukup dilematis yakni antara negar mengambil kewenangan sepenuhnya untuk bertanggungjawab menangani, ataukah lebih dipasrahkan pada mekanisme sosiokultural yang hidup di masyarakat.

Sebenarnya ada banyak derivasi pilihan yang bisa dijadikan solusi penyelesaiannya. Salah satu contohnya (sebagaimana yang menjadi thema dari diskusi kali ini) adalah dengan membangun kewaspadaan dini masyarakat.
Kemudian timbul pertanyaan berikutnya, kewaspadaan dini masyarakat yang seperti apa yang bisa dijadikan modal sosial dalam pencegahan konflik?

Dari berbagai diskusi, seminar, maupun pertemuan yang ada, menurut saya memang tidak ada yang bisa dijadikan format baku atau tunggal yang bisa dipakai dalam rangka penanggulangan konflik. Meskipun secara umum beberapa konflik memiliki kesamaan, namun juga memiliki beberapa spesifikasi yang berbeda. Oleh karena itu, penanganan konflik yang dilaksanakan secara seragam dengan tanpa melihat akar konfliknya justru dapat mereproduksi konflik dan merupakan pengulangan kesalahan yang pernah dilakukan oleh rezim orde baru.

Mengenai Kewaspadaan Dini Masyarakat sebagai modal sosial untuk mencegah konflik horizontal adalah sebuah pola yang bisa dikategorikan sebagai upaya preventif. Bentuk kongkritnya adalah proses pemahaman dan penyadaran kepada masyarakat tentang nilai-nilai perdamaian. Namun meskipun hal ini kelihatan sesuatu yang sangat mudah, bukan berarti bisa mulus dalam menjalankannya. Misalnya saja mengenai pemaknaan kata “damai” sebagaimana yang pernah ide dasar dari seminar yang diadakan oleh Jaringan Masyarakat Cinta Damai.

Kata damai yang ada dalam slogan aparat militer “Damai Itu Indah” akan bisa berarti siap-siap dihadang oleh moncong senapan bagi warga Aceh ketika masa DOM dahulu. Dalam konteks ini kata “damai” berarti akan bisa berwujud kekerasan. Kata “damai” pada masyarakat Maluku akan identik dengan sebuah terminologi dari ajaran agama tertentu. Bahkan, pada masa konflik kekerasan di Maluku jika kita bicara damai, maka halal hukumnya darahnya untuk diminum. Sama juga dengan pemaknaan kata “damai” bagi seorang polisi lalu lintas dan seorang pengendara motor yang kena tilang. Kata “damai” bagi keduanya adalah sesuatu yang berarti penginjak-injakan pada hukum yang berlaku. Dari sedikit contoh tersebut saya hanya bermaksud ingin menyampaikan bahwa membangun kewaspadaan dini sebagai upaya mencegah konflik horizontalpun harus tetap kontekstual dan sesuai dengan ranah dan masalahnya.

Pendekatan hukum
Dalam perspektif hukum, Pemerintah sejak tanggal 26 April 2007 telah mengundangkan undang-undang yang mengatur tentang penanggulangan konflik. Undang-undang yang dimaksud adalah Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Sebagaimana yang termaktub dalam pasal 1 angka 1 undang-undang tersebut, “Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.”
Selanjutnya dalam pasal 1 angka 4 menyebutkan bahwa bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.”

Dari ketentuan umum undang-undang tersebut (beserta konsiderans-nya) sangat jelas bahwa undang-undang ini adalah undang-undang yang dibuat sebagai regulasi dari penanggulan konflik yang selama ini jauh dari perkembangan keadaan masyarakat sehingga menghambat upaya penanggulangan bencana secara terencana, terkoordinasi, dan terpadu. Namun setelah ditelaah satu demi satu pasal-pasal yang ada hingga penjelasannya, sangatlah disayangkan apabila dalam kenyataannya undang-undang ini ternyata tidak bisa dikatakan sebagai undang-undang penanganan konflik. Hal tersebut setidaknya didasari atas pertimbangan sebagai berikut:
  • Bahwa bencana alam dan bencana sosial (konflik) secara nyata memiliki karakteristik yang sangat jauh berbeda. Oleh karena itu maka penanganan / penanggulangan terhadap bencana alam dan bencana sosial (konflik) juga memiliki pola yang berbeda pula, baik pada tahap pra bencana, tanggap darurat, maupun paska bencana;
  • Bahwa di dalam Undang-Undang no. 24 tahun 2007 tersebut tidak merumuskan secara komperhensif mengenai penanganan konflik;
  • Bahwa mainstream atau ruh dari “Penanggulangan Bencana” di dalam undang-undang tersebut adalah Bencana Alam;
  • Di dalam pasal-pasalnya (khususnya pasal 32), Undang-Undang no. 24 tahun 2007 justru dapat mereproduksi konflik serta bertentangan dengan pasal 28 H ayat (4) UUD 1945 dan pasal 19 ayat (1) Undang-Undang no. 39 tahun 1999 tentang HAM;

Dengan merujuk pada alasan-alasan diatas maka membuat sebuah undang-undang yang khusus mengatur tentang konflik adalah sesuatu yang sangat mendesak dan perlu. Apalagi apabila ditinjau dari paham negara hukum yang kita anut, yang membawa konsekwensi segala sesuatunya harus berlandaskan hukum. Tanpa kepastian hukum, pelaku konflik tidak akan pernah bisa diberi sangsi. Dan tanpa kepastian hukum, kebebasan orang untuk memaksakan kehendak akan semakin tidak bertepi.

Jakarta, 17 November 2007
( Tulisan ini merupakan sebuah pengantar diskusi yang diadakan di Bogor )

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda


Free chat widget @ ShoutMix