<data:blog.pageTitle/>

20 November 2007

Kewaspadaan Dini Masyarakat Dalam Mencegah Konflik Horizontal



Sesuai dengan permintaan fasilitator diskusi, pada kesempatan ini saya diminta untuk memberikan pengantar diskusi dengan thema “Kewaspadaan Dini Masyarakat Dalam Mencegah Konflik Horizontal”. Dalam posisi saya sebagai anggota masyarakat, saya sebenarnya agak “canggung:” dengan thema ini. Saya mengatakan canggung mengingat dalam pemahaman saya, ada banyak kasus konflik di Indonesia yang sebetulnya lebih bersifat konflik vertikal (khususnya semenjak era reformasi). Kalaupun ada konflik horizontal, dalam beberapa penelitian yang telah dilakukan menyebutkan bahwa konflik yang terjadi tidak terlepas dari adanya “salah kebijakan” yang diterapkan oleh negara. Dalam kasus-kasus seperti ini, saya dan beberapa kawan sering mengistilahkannya sebagai bencana kebijakan. Artinya bahwa konflik (yang dalam Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dikategorikan sebagai bencana sosial) yang terjadi adalah akibat dari kebijakan salah yang diambil oleh Pemerintah. Sebagai contoh adalah kebijakan pemerintah tentang pemberian dana bantuan langsung kepada masyarakat ataupun pemekaran wilayah yang dalam beberapa kasus sering mengakibatkan adanya pertikaian antar warga.

Selain itu -dalam konteks upaya-upaya pencegahan konflik- thema kewaspadaan dini masyarakat ini seakan-akan meletakkan masyarakat sebagai penanggung jawab utama dalam konflik horizontal yang ada. Sementara dari daftar konflik horizontal yang telah terjadi saat ini, seringkali justru masyarakatlah yang sebenarnya dalam posisi sebagai victim (korban). Namun terlepas dari itu semua, bahwa upaya-upaya mengakhiri konflik yang berdampak destruktif haruslah menjadi komitmen dari kita semua, dan kita semua juga berharap semoga diskusi ini nantinya juga dapat memberikan “rekomendasi” bagi terwujudnya integrasi bangsa ini.

Pengertian Konflik
Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Karl Marx, bahwa semakin tidak merata distribusi sumber daya yang langka dalam masyarakat maka akan semakin besar pula konflik kepentingan antara kepentingan kelompok dominan dan subordinat. Dan semakin sadar kelompok subordinat akan kepentingan kolektif mereka yang sesungguhnya, maka semakin besar pula kemungkinan mereka mempertanyakan legitimasi pola distribusi sumber daya langka yang berlaku. Dan selanjutnya bisa dipastikan bahwa kesadaran kolektif dari pihak yang subordinat akan semakin besar apabila perilaku kelompok dominan semakin mengganggu kelompok subordinat, sehingga pada gilirannya nanti kelompok subordinat menjadi teralienasi yang kemudian membangun ideologi pemersatu untuk melawan kelompok dominan.

Guna mempermudah kita dalam memahami konflik, maka berikut ini saya sampaikan beberapa rumusan mengenai konflik.
Pertama menurut kamus Wikipedia Indonesia. Dalam kamus ini, konflik berasal dari kata Configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.

Kedua, pengertian konflik yang disampaikan oleh Fisher. Dalam pengertiannya, konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individual atau kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan.

Ketiga, teori konflik yang disampaikan oleh Robbins. Menurutnya, konflik sebagai suatu proses yang dimulai ketika suatu pihak merasa ada pihak lain yang memberikan pengaruh negatif kepadanya atau ketika suatu pihak merasa kepentingannya itu memberikan pengaruh negatif kepada pihak lainnya. Dalam pengertian tersebut, wujud konflik itu mencakup rentang yang amat luas, mulai dari ketidaksetujuan samar-samar sampai dengan tindakan kekerasan. Jadi secara sederhana bias dikatakan bahwa, setiap perbedaan itu sesungguhnya merupakan potensi konflik, yang apabila tidak ditangani secara baik potensi konflik itu bisa berubah menjadi konflik terbuka.
Secara obyektif, konflik itu dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu konflik fungsional dan konflik disfungsional.
Selanjutnya, pakar ilmu sosial tersebut membagi intensitas konflik menjadi 6 (enam) tingkatan, yakni
  1. Memiliki sedikit ketidaksetujuan atau sedikit kesalahpahaman. Konflik yang paling ringan adalah perbedaan persepsi dan pemahaman terhadap suatu perkara. Perbedaan ini masih tersimpan dalam memori individu atau kelompok yang beriteraksi;
  2. Mempertanyakan sesuat atau hal-hal yang berbeda. Pihak-pihak tertentu sudah mulai mempertanyakan hal-hal yang dianggap berbeda, tetapi belum ada pernyataan bahwa pihak lain itu keliru;
  3. Mengajukan serangan verbal. Pada tingkat ini perbedaan sudah diungkapkan secara terbuka dan sudah ada pernyataan bahwa pihak lain itu keliru, tetapi belum muncul paksaan verbal agar pihak lain itu bersikap seperti apa yang dinginkannya;
  4. Mengajukan ancaman. Disini paksaan verbal sudah mulai muncul, artinya ada suatu upaya agar pihak lain itu bersikap seperti dirinya;
  5. Melakukan serangan fisik secara agresif. Bentuk pemaksaan sudah meningkat dalam bentuk paksaan fisik;
  6. Melakukan upaya-upaya untuk merusak atau menghacurkan pihak lain.

Sedangkan dari sisi jenisnya secara teoritis konflik dapat dibagi menjadi beberapa jenis antara lain;
a. Dari segi pihak yang berkonflik :
  1. Konflik Kelas,
  2. Konflik Etnis/Suku,
  3. Konflik Agama,
  4. Konflik Komunal,
  5. Konflik Negara,
  6. dsb
b. Dari segi masalah/isyu :
  1. Konflik Ekonomi,
  2. Konflik Sumber Daya Alam,
  3. Konflik Agama,
  4. Konflik Kekuasaan,
  5. Konflik Ideologi,
  6. Konflik Budaya.
c. Dari segi posisi yang berkonflik :
  1. Konflik Vertikal,
  2. Konflik Horizontal.
  3. Konflik Diagonal
d. Dari segi akibat:
  1. Konstrukif,
  2. Destruktif.

Dari beberapa teori tersebut, dalam tulisan (diskusi) ini kita hanya akan memberikan batasan (ruanglingkup) konflik sebagai sebuah hubungan yang terjadi antar dua pihak yang tidak sejalan dan bersifat destruktif. Dan karena thema yang diambil adalah konflik yang bersifat horizontal maka fokus diskusi dan beberapa contoh kasus yang akan diketengahkan adalah konflik-konflik yang bersifat horizontal.


Konflik di Indonesia
Dalam sejarah peradaban manusia di dunia, konflik ataupun kekerasan sebenarnya adalah sesuatu yang ada dan berusia hampir sama dengan kehidupan manusia di bumi ini. Tewasnya Habil di tangan Qobil yang notabene adalah saudaranya sendiri merupakan kasus kekerasan yang dilakukan pertama kali dilakukan oleh manusia.

Sebagaimana analisa seorang ilmuwan bernama Sigmund Freud, bahwa manusia tidak akan pernah lepas dari insting dominannya. Insting dominan yang dimaksud adalah insting seksual dan insting mempertahankan diri. Dan teori ini sudah terbukti dengan selalu munculnya konflik dan atau kekerasan di setiap perjalanan sejarah umat manusia.

Demikian juga dengan yang terjadi di bumi pertiwi ini. Dewasa ini, bangsa kita sedang menghadapi ancaman serius yang berkaitan dengan semakin maraknya konflik-konflik yang sedang terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Sebagai sebuah bangsa yang memiliki keanekaragaman budaya, adat-istiadat, bahasa, etnis, agama, dan lain sebagainya, konflik merupakan “sebuah bencana sosial” yang sesungguhnya memang sangat rentan terjadi di republik ini. Pun demikian, praktek sistem kekuasaan Orde Baru yang militeristik, sentralistik, dan hegemonik adalah (menurut pendapat banyak kalangan) pemantik utama yang menyebabkan koflik berkobar dimana-mana.

Sebagaimana yang telah tercatat dalam sejarah, sejak awal republik ini berdiri memang tidak pernah sepi dari yang namanya konflik. Bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka atau menjelang Proklamasi Kemerdekaanpun putra-putri bangsa ini juga seringkali berkubang dalam sebuah “konflik”. Sebagai contoh bisa kita tunjukkan “konflik” yang terjadi antara golongan tua dengan golongan muda hingga mengakibatkan terjadinya penculikan Soekarno oleh Wikana dan kawan-kawannya ke Rengas Dengklok.

Dalam masa-masa kemerdekaanpun konflik juga masih tetap ada. Beberapakali pemberontakan yang terjadi adalah bukti nyata yang ada. Justru konflik mengalami penurunan eskalasi (baik kualitas maupun kuantitas) ketika rezim orde baru berkuasa. Dalam masa ini, segala bentuk penyeragaman dilakukan. Dengan kebijakan pemberangusan hak-hak rakyat untuk mengaktualisasikan diri di segala bidang, konflik justru bisa “diredam”. “ Pluralitas dan kemajemukan sebagai sesuatu yang sebenar-benarnya ada dipaksakan hilang demi stabilitas. Negara melihat bahwa perbedaan adalah petaka. Bhineeka Tunggal Ika dimaknai sebagai perbedaan yang harus diseragamkan. Dengan segenap kekuasaannya pendekatan keamanan digunakan sebagai alat untuk memaksa penerimaan segala tafsir tunggal penguasa. Dalam situasi ini demokrasi adalah sebuah barang mati.

Hegemoni negara yang menghasilkan kedamaian semu diatas memiliki implikasi nyata setelah tumbangnya rezim otoriter tersebut. Konflik merebak dimana-mana dan terjadi dengan sangat luar biasa. Rakyat yang selama 32 tahun terkukung mengalami “liberalisasi” pada saat munculnya gerakan reformasi. “Politik penyeragaman” yang telah dipraktekkan sangat lama oleh penguasa akhirnya juga meracuni pikiran sebagian besar warga negara. Internalisasi nilai dan ideologi dari penguasa kemudian diimprovisasikan sendiri oleh sebagian besar warganya. Karena adanya perbedaan etnis, ratusan dan bahkan mungkin ribuan warga tionghoa menjadi korban keberingasan massa. Hal itupun kemudian menjadikannya sebagai sebuah tragedi kemanusiaan yang cukup besar paska peristiwa 1965. Dan sampai detik ini, konflik demi konflik masih menghiasi lembaran kelam sejarah republik ini. Dari persoalan yang bermotif perebutan sumber daya alam, perbedaan identitas (etnis dan atau agama), hingga perebutan kekuasaan politik (yang salah satu bentuk kongkritnya adalah pilkada) menjadi drama-drama kekerasan yang terjadi hampir di seluruh pelosok negeri.


Mencari Akar Konflik
Dari sebuah penelitian penelitian yang dilakukan oleh Rusmin Tumanggor dkk disebutkan bahwa konflik yang terjadi di Sampit, Sambas, Ambon, Poso dan Ternate meskipun masing-masing mempunyai constraint yang berbeda namun secara umum konflik tersebut terjadi sebagai akibat adanya distribusi (baik ekonomi, sosial dan politik) yang dianggap tidak adil serta bertepatan dengan perbedaan identitas. Konflik Sampit dan Sambas misalnya, banyak dipicu oleh kenyataan bahwa etnis Madura pada taraf tertentu telah menjelma menjadi kelompok yang berhasil menguasai berbagai sumberdaya ekonomi, sementara disisi lain perilaku sosial mereka yang cenderung eksklusif semakin menegaskan komunalitas etnisnya. Maka ketika terjadi gesekan-gesekan sosial dengan etnis Dayak atau Melayu sebagai penduduk asli cukup untuk menyulut sebuah konflik yang massif dan berkepanjangan. Demikian pula halnya yang terjadi di Ambon, Poso dan Ternate dengan isu identitas yang sedikit berbeda (yakni, isu agama dan pada beberapa kasus di Ambon juga dibalut dengan isu etnis, yaitu Buton, Bugis, Makasar dengan penduduk asli).

Data yang berhasil dihimpun peneliti menguatkan teori-teori yang telah ada sebelumnya, dimana konflik yang terjadi umumnya sangat kuat dipengaruhi oleh isu identitas dan isu distribusi. Sebesar 26,4% responden di lima wilayah konflik menyatakan bahwa penyebab konflik dan keretakan hubungan antar warga adalah karena perbuatan atau sikap kelompok identitas (etnis/agama) tertentu yang menyinggung harga diri dan rasa keadilan kelompok identitas (etnis/agama) lainnya. Penghinaan atas keyakinan (agama) dan suku tertentu juga menjadi penyebab konflik yang cukup dominan. Sementara itu, penguasaan lapangan pekerjaan juga turut menjadi faktor utama yang menyebabkan terjadinya konflik. Dari sini bisa kita lihat bahwa faktor-faktor identitas ini bercampur dengan konflik atas pendistribusian sumber daya seperti, wilayah, kekuasaan ekonomi, prospek lapangan kerja dan seterusnya.

Begitu juga dengan maraknya tawuran antar warga atau kelompok yang terjadi di beberapa kota besar di Indonesia, termasuk Jakarta. Perebutan wilayah yang dianggap menghasilkan pendapatan (misalnya area parkir liar) seringkali berujung pada tindakan-tindakan kekerasan. Dengan menggunakan identitas etnis, antar kelompok tersebut seringkali berkonflik dengan diikuti oleh hilangnya nyawa beberapa anggotanya.

Pun demikian dengan konflik-konflik yang diakibatkan oleh perebutan sumber daya kekuasaan. Pemilihan Kepala Daerah yang dilaksanakan secara langsung saat ini kerap kali membawa konflik horizontal dan bahkan vertikal. Hal tersebut bisa dilihat dari berbagai kerusuhan akibat pilkada yang cenderung diwarnai pengrusakan property dari lawan politik maupun barang-barang inventaris negara.


Kewaspadaan Dini Masyarakat sebagai upaya preventif

Dan sekarang kita dihadapkan pada sebuah pertanyaan: “bagaimana menanggulanginya ?”
Sampai saat ini, seringkali para penyelenggara negara (khususnya) mengalami keragu-raguan dalam menangani sebuah konflik. Dalam proses penanganan konflik (baik pra, pada saat terjadi, maupun paska konflik) selalu para pengambil kebijakan dihadapkan pada pilihan yang cukup dilematis yakni antara negar mengambil kewenangan sepenuhnya untuk bertanggungjawab menangani, ataukah lebih dipasrahkan pada mekanisme sosiokultural yang hidup di masyarakat.

Sebenarnya ada banyak derivasi pilihan yang bisa dijadikan solusi penyelesaiannya. Salah satu contohnya (sebagaimana yang menjadi thema dari diskusi kali ini) adalah dengan membangun kewaspadaan dini masyarakat.
Kemudian timbul pertanyaan berikutnya, kewaspadaan dini masyarakat yang seperti apa yang bisa dijadikan modal sosial dalam pencegahan konflik?

Dari berbagai diskusi, seminar, maupun pertemuan yang ada, menurut saya memang tidak ada yang bisa dijadikan format baku atau tunggal yang bisa dipakai dalam rangka penanggulangan konflik. Meskipun secara umum beberapa konflik memiliki kesamaan, namun juga memiliki beberapa spesifikasi yang berbeda. Oleh karena itu, penanganan konflik yang dilaksanakan secara seragam dengan tanpa melihat akar konfliknya justru dapat mereproduksi konflik dan merupakan pengulangan kesalahan yang pernah dilakukan oleh rezim orde baru.

Mengenai Kewaspadaan Dini Masyarakat sebagai modal sosial untuk mencegah konflik horizontal adalah sebuah pola yang bisa dikategorikan sebagai upaya preventif. Bentuk kongkritnya adalah proses pemahaman dan penyadaran kepada masyarakat tentang nilai-nilai perdamaian. Namun meskipun hal ini kelihatan sesuatu yang sangat mudah, bukan berarti bisa mulus dalam menjalankannya. Misalnya saja mengenai pemaknaan kata “damai” sebagaimana yang pernah ide dasar dari seminar yang diadakan oleh Jaringan Masyarakat Cinta Damai.

Kata damai yang ada dalam slogan aparat militer “Damai Itu Indah” akan bisa berarti siap-siap dihadang oleh moncong senapan bagi warga Aceh ketika masa DOM dahulu. Dalam konteks ini kata “damai” berarti akan bisa berwujud kekerasan. Kata “damai” pada masyarakat Maluku akan identik dengan sebuah terminologi dari ajaran agama tertentu. Bahkan, pada masa konflik kekerasan di Maluku jika kita bicara damai, maka halal hukumnya darahnya untuk diminum. Sama juga dengan pemaknaan kata “damai” bagi seorang polisi lalu lintas dan seorang pengendara motor yang kena tilang. Kata “damai” bagi keduanya adalah sesuatu yang berarti penginjak-injakan pada hukum yang berlaku. Dari sedikit contoh tersebut saya hanya bermaksud ingin menyampaikan bahwa membangun kewaspadaan dini sebagai upaya mencegah konflik horizontalpun harus tetap kontekstual dan sesuai dengan ranah dan masalahnya.

Pendekatan hukum
Dalam perspektif hukum, Pemerintah sejak tanggal 26 April 2007 telah mengundangkan undang-undang yang mengatur tentang penanggulangan konflik. Undang-undang yang dimaksud adalah Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Sebagaimana yang termaktub dalam pasal 1 angka 1 undang-undang tersebut, “Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.”
Selanjutnya dalam pasal 1 angka 4 menyebutkan bahwa bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.”

Dari ketentuan umum undang-undang tersebut (beserta konsiderans-nya) sangat jelas bahwa undang-undang ini adalah undang-undang yang dibuat sebagai regulasi dari penanggulan konflik yang selama ini jauh dari perkembangan keadaan masyarakat sehingga menghambat upaya penanggulangan bencana secara terencana, terkoordinasi, dan terpadu. Namun setelah ditelaah satu demi satu pasal-pasal yang ada hingga penjelasannya, sangatlah disayangkan apabila dalam kenyataannya undang-undang ini ternyata tidak bisa dikatakan sebagai undang-undang penanganan konflik. Hal tersebut setidaknya didasari atas pertimbangan sebagai berikut:
  • Bahwa bencana alam dan bencana sosial (konflik) secara nyata memiliki karakteristik yang sangat jauh berbeda. Oleh karena itu maka penanganan / penanggulangan terhadap bencana alam dan bencana sosial (konflik) juga memiliki pola yang berbeda pula, baik pada tahap pra bencana, tanggap darurat, maupun paska bencana;
  • Bahwa di dalam Undang-Undang no. 24 tahun 2007 tersebut tidak merumuskan secara komperhensif mengenai penanganan konflik;
  • Bahwa mainstream atau ruh dari “Penanggulangan Bencana” di dalam undang-undang tersebut adalah Bencana Alam;
  • Di dalam pasal-pasalnya (khususnya pasal 32), Undang-Undang no. 24 tahun 2007 justru dapat mereproduksi konflik serta bertentangan dengan pasal 28 H ayat (4) UUD 1945 dan pasal 19 ayat (1) Undang-Undang no. 39 tahun 1999 tentang HAM;

Dengan merujuk pada alasan-alasan diatas maka membuat sebuah undang-undang yang khusus mengatur tentang konflik adalah sesuatu yang sangat mendesak dan perlu. Apalagi apabila ditinjau dari paham negara hukum yang kita anut, yang membawa konsekwensi segala sesuatunya harus berlandaskan hukum. Tanpa kepastian hukum, pelaku konflik tidak akan pernah bisa diberi sangsi. Dan tanpa kepastian hukum, kebebasan orang untuk memaksakan kehendak akan semakin tidak bertepi.

Jakarta, 17 November 2007
( Tulisan ini merupakan sebuah pengantar diskusi yang diadakan di Bogor )

Baca Selengkapnya...

Generasi muda, demokrasi, dan integrasi bangsa


Dalam benak banyak orang, pemuda adalah sosok pribadi yang istimewa. Penilaian istimewa ini mungkin didasari atas peran-perannya yang terdapat dalam seluruh proses kesejarahan umat manusia yang ada. Memang ada banyak bukti yang bisa dijadikan dasar atas penilaian itu. Di hampir seluruh pelosok dunia, sejarah perubahan senantiasa dimotori oleh segolongan manusia yang bernama pemuda, khususnya mahasiswa. Pun yang terjadi di Indonesia. Betapa tidak, dalam setiap episode perubahan yang terjadi di Republik ini, selalu saja mahasiswa menjadi pelopornya. Tengok saja misalnya pada tahun 1908 ketika gerakan kebangkitan nasional dimotori oleh mahasiswa-mahasiswa STOVIA. Atau mungkin pada tahun 1966 yang dipelopori oleh mahasiswa-mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia yang kemudian melahirkan Orde Baru. Atau juga pada peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari yang aksi-aksinya juga dipimpin oleh para mahasiswa. Bahkan tahun 1998 kemarin yang kemudian lebih dikenal sebagai gerakan reformasi. Semua itu adalah lembaran-lembaran emas dari sejarah perjuangan-perjuangan yang di perankan oleh mahasiswa.
Demikian juga sejarah perubahan yang terjadi di dunia. Lihat saja pada apa yang terjadi di Portugis pada tahun 1930- 1940. Bagaimana mahasiswa Portugis waktu itu melakukan aksi-aksi menentang kediktatoran Salazar. Atau ketika dekade 60-an, bagaimana para mahasiswa latin berjuang dalam misinya melawan kediktatoran dan kelaparan bangsanya. Mereka dengan lantang memprotes kebijakan-kebijakan para diktator Paraguay, Guatemala, Haiti,dan Nicaragua. Mereka dalam dekade itu secara massif memprotes setiap kebijakan para diktator yang jelas-jelas tidak berpihak kepada rakyat. (lPergolakan Mahasiswa Abad ke-20, Yozar Anwar dalam Kisah Perjuangan Anak-Anak Muda Pemberang ) Dan dari sebagian kecil itu saja, apabila di dalam kamus sejarah perubahan kita dikenal yang namanya Very Important Person (VIP)-, mahasiswa dan pemuda bisa dipastikan akan menjadi nominator utamanya. Dan andaikata itu memang ada, mungkin bukan lagi Very Important Person, melainkan Very Important Community. 1998 - Saat ini Bulan mei yang kita lewati saat ini adalah bulan yang delapan tahun lalu merupakan bulan yang syarat dengan catatan sejarah bagi perjalanan demokrasi di bumi pertiwi ini. Pada saat itu, ribuan mahasiswa bersama-sama dengan rakyat bahu-membahu turun ke jalan menuntut sebuah perubahan. Kekecewaan dan kemarahan rakyat atas pemimpin dan segala kebijakannya terakumulasi dengan kuat. Bersama dengan pemuda dan mahasiswa, rakyat yang telah kecewa dan marah tersebut kemudian melakukan sebuah gerakan ekstra parlementer yang maha dahsyat. Dari gerakan yang kemudian lebih dikenal sebagai gerakan reformasi ini, tepat pada tanggal 21 Mei berhasil memaksa Soeharto sang Sumber Dari Segala Bencana mundur dari tampuk kekuasaannya. Sejenak rakyat bersama mahasiswa lega, Saat ini -delapan tahun setelah peristiwa itu telah berlalu- kita belum merasakan indahnya reformasi yang kita impikan.
Detik ini -setelah empat Presiden telah kita rasakan kebijakannya- kita juga belum menikmati demokrasi yang hakiki, yakni demokrasi yang letaknya berada diantara kebebasan dan batasan. Dan hari ini –ketika bangsa ini telah melahirkan orang gunung bernama mbah Maridjan menjadi tokoh baru- kita malah melihat bahwa integrasi bangsa hanyalah bualan semata.
Satu pertanyaan, apa yang salah dengan kita ?

Perubahan, demokrasi, dan integrasi bangsa
Membicarakan perubahan pada bangsa ini, akan lebih baik kalau kita membedakannya kedalam dua bentuk / macam tentang perubahan, yakni perubahan yang hanya diinginkan semata dan perubahan yang memang benar-benar direncanakan. Pada terminologi perubahan yang hanya diinginkan, perubahan semata –mata hanya merupakan keinginan dari sebuah golongan atas lahirnya sebuah situasi dan kondisi yang lebih baik. Dalam perubahan yang bermakna seperti ini, mayoritas orang tidak pernah merumuskan satu kerangka yang jelas dan rinci atas perubahan yang ingin diraihnya. Mayoritas orang ini tidak pernah membuat sebuah grand desain atas perubahan itu sendiri. Dan perubahan yang terjadi di Indonesia menurut penilaian saya adalah perubahan yang masuk dalam kategori ini. Oleh karena itu, karena gerakan reformasi yang terjadi delapan tahun yang lalu ternyata termasuk dalam kategori pada perubahan yang hanya diinginkan semata, maka menjadi cukup wajar apabila demokrasi yang dihasilkan menjadi demokrasi yang penuh dengan anarkhi dan penuh dengan transaksi materi. Dan karena perubahan yang terjadi hanya perubahan yang berklasifikasi seperti itulah maka menjadi agak wajar juga apabila keinginan integrasi justru berbuah disintegrasi. Dari paparan diatas sekarang muncul satu pertanyaan, peran apa yang harus kita mainkan dalam membangun demokrasi dan integrasi bangsa kita dalam konteks kekinian ?

Peran kedepan
Di republik yang konstitusinya telah dengan jelas menyatakan dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi ini, kaum muda harus menjadi sebuah kekuatan yang kritis. Adalah tugas dan porsinya, bahwa pemuda harus senantiasa melakukan kritik, kontrol, dan pengawasan terhadap segala kebijakan yang menyangkut nasibnya seluruh rakyat, khususnya yang dikeluarkan oleh para penyelenggara negara. Dan satu hal yang harus menjadi keyakinan dan prinsip kita pula, bahwa mengkritik, mengontrol, dan mengawasi dalam alam demokrasi bukan saja sesuatu yang penting, namun lebih dari itu peran-peran tersebut merupakan peran-peran yang terhormat pula. Dan menurut saya ini adalah hal yang paling penting. Dalam konteks itu, jauh-jauh hari banyak kaum muda yang saat ini telah menentukan sikapnya sebagai oposisi permanen. Sebuah kekuatan yang memposisikan diri mengawal bangsa ini mewujudkan masyarakat yang zonder penindasan. Sikap dari oposisi permanen adalah satu sikap yang di satu sisi akan setia mendukung setiap kebijakan yang menyelamatkan kaum marhaen, serta di sisi yang lain sikap ini merupakan sebuah sikap yang siap berhadap-hadapan dengan negara (Pemerintah) sekalipun, apabila dalam kebijakannya negara justeru menindas rakyat. Dan siap untuk vivere vere coloso adalah sesuatu yang telah include dalam sikap dari kaum muda yang ingin melakukan perubahan menuju kehidupan yang zonder penindasan.

Tantangan sekarang dan kedepan
Harus disadari bahwa globalisasi saat ini telah membawa proses perubahan nilai terhadap masyarakat Indonesia tentang hidup dan eksistensi hidup. Globalisasi secara massif telah memaksa masyarakat Indonesia untuk membuat sebuah pandangan baru tentang eksistensi dirinya yang diarahkan pada kemampuan membeli barang (konsumerisme). Pandangan baru tersebut ternyata mampu membuat sebuah perubahan besar-besaran dalam sejarah peradaban bangsa-bangsa di dunia. Bangunan baru tersebut dikemas dalam image “modernisme” yang dipropagandakan kapitalisme global melalui media-media informasi yang juga telah mengglobal. Di Indonesia, pencitraan tersebut telah efektif memasuki kisi-kisi bangunan pergaulan hidup masyarakat Indonesia akibat masih kuatnya budaya feodal yang membuat sebagian besar masyarakat mengalami penyakit minder karena merasa bangsanya adalah bangsa kecil dan primitif dibandingkan dengan perkembangan budaya negara-negara maju. Implikasinya, semua perubahan sosial dan budaya masyarakat Indonesia sepenuhnya dikendalikan oleh kekuatan kapitalisme global terutama dalam budaya pergaulan hidup yang hedonis, konsumeris dan pragmatis. Di sisi yang lain, disfungsionalisasi peran agama justru semakin akut. Nilai-nilai agama di Indonesia semakin tercemari oleh kepentingan politik golongan. Hal ini kemungkinan lebih disebabkan oleh banyaknya tokoh /pemimpin agama yang terlibat secara aktif dalam lemabag-lembaga politik / partai. Nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan kebajikan yang menjadi nafas dari agama itu sendiri, nyaris hilang tergantikan oleh perasaan-perasaan kemunafikan, keserakahan dan egoisme manusia. Di tangan orang yang tidak memahami bahwa agama mengandung nilai-nilai yang universal, menyebabkan agama menjadi salah letak. “Pertempuran” atas RUU APP (Rancangan Undang-Undang Anti Pornoaksi dan Pornografi) menjadi contoh kongkrit atas hal itu. Akhiran Sebagaimana seorang filsuf katakan “saya berpikir maka saya ada”, maka marilah kita semua (khususnya para kaum muda) untuk berpikir guna merumuskan blue print gerakan ke depan. Dan kita harus sepakat bahwa masa depan adalah masa kita, sebuah masa yang semoga saja dapat membawa seluruh rakyat pada kondisi yang benar-benar direncanakan dan diidam-idamkan.

Pulogadung, 26 Mei 2006


Baca Selengkapnya...

BPPN: Tidak layak namun perlu



oleh : sonny t. danaparamita

BPPN adalah sebuah badan khusus yang bertugas menjalankan fungsi penyehatan perbankan dan melaksanakan pengelolaan aset- aset bank yang bermasalah. Dalam menjalankan fungsinya, bank- bank yang dikenai program penyehatan adalah bank- bank yang ditetapkan dan diserahkan oleh Bank Indonesia kepada BPPN guna dilakukan program penyehatan bagi bank yang bermasalah.

Diperkirakan, hingga saat ini BPPN telah menguasai serta mengelola total aset sebesar 540 triliyun rupiah yang terdiri dari aset swasta dan aset pemerintah. Menurut penjelasan PP Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional, dalam ketentuan umum alinea ketiganya dijelaskan “Guna mencegah kerusakan yang lebih buruk di sektor ekonomi yang dapat menimbulkan implikasi sosial secara luas, pemerintah mengambil langkah-langkah strategis dengan mendirikan badan khusus yang bersifat sementara dan mempunyai misi untuk memulihkan kondisi perbankan serta mengembalikan uang negara yang telah tersalur di sektor perbankan dimana untuk selanjutnya badan khusus dimaksud disebut dengan BPPN. Mengingat besarnya jumlah uang negara yang harus dipulihkan serta sangat strategisnya misi yang diberikan kepada BPPN tersebut, undang-undang memberikan kewenagan-kewenangan khusus yang tidak dimiliki oleh institusi lainnya. Sifat dari kewenangan yang dimiliki oleh BPPN tersebut merupakan lex specialis terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang lainnya. Bahkan oleh undang-undang tindakan-tindakan yang diambil oleh BPPN dipersamakan dengan sebuah putusan pengadilan yang bersifat serta merta (uitvoerbaar verklaard bij voorraad).


Hal ini tiada lain karena keadaan perekonomian nasional dalam keadaan bahaya dan eksistensi BPPN tersebut hanya bersifat sementara.” Dari penjelasan tersebut, justeru meninggalkan ketidakjelasan dan penafsiran ganda. Seperti, penerapan azas Lex Specialis, pemberian kewenangan untuk dapat mengambil keputusan yang dipersamakan dengan putusan pengadilan yang bersifat serta merta, dan pernyataan keadaan perekonomian nasional dalam keadaan bahaya, kesemuanya masih belum mempunyai pijakan dan landasan hukum yang jelas serta kuat.

Lebih jauh -karena ad hoc sifatnya-, maka dalam menjalankan tugasnya BPPN diberi jangka waktu selama lima (5) tahun terhitung sejak diberlakukannya PP Nomor 17 Tahun 1999 tersebut. Oleh karena itu, konsekwensi politis dan yuridis yang harus dipikul oleh BPPN adalah bahwa badan khusus tersebut diharapkan mampu menyelesaikan tugas-tugasnya dalam jangka waktu yang sesungguhnya relatif pendek, yakni sampai dengan tanggal 27 Februari 2004.

Banyaknya kasus-kasus kolutif di seputar restrukturisasi asset Bank-Bank bermasalah yang telah diserahkan oleh Bank Indonesia pada BPPN adalah sebuah berita yang selama ini selalu mengikuti perjalanan BPPN.
Kondisi tersebut sekaligus menunjukkan bahwa azas kehati- hatian dan azas keterbukaan sebagai “pagar moral” yang harusnya selalu dijadikan landasan BPPN dalam melangkah sama sekali tidak diperhatikan. Hal tersebut terkait dengan cara kerja BPPN yang cukup lemah dan tidak transparannya dalam menjalankan restrukturisasi (sampai sekarang masih 20% dari total aset awal sebesar 700 trilyun).

Selain itu, yang juga disoroti oleh banyak pihak adalah soal kewenangan BPPN yang cenderung tak terbatas dalam mengelola aset bank-bank yang telah dikuasainya, terutama berkenaan dengan kemungkinan banyaknya kerugian yang ditimbulkannya (yang mau tidak mau akan ditanggung oleh rakyat sebagai representasi publik dan pemerintah).


Alasan dibentuknya BPPN
Gejolak moneter yang melanda kawasan Asia pada tahun 1997, telah membawa dampak yang cukup luar biasa terhadap kondisi moneter nasional kita. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar yang kemudian diikuti dengan melemahnya industri perbankan nasional telah membawa keprihatinan semua pihak.
Pemerintah dalam penjelasannya di berbagai kesempatan menyatakan bahwa pembentukan BPPN sebagai badan khusus dan bersifat ad hoc ini merupakan langkah strategis yang diambil oleh pemerintah dalam usahanya untuk memulihkan kondisi perbankan serta mengembalikan uang negara yang telah tersalurkan di sektor perbankan. Dari berbagai reason itulah maka pada tanggal 27 Januari 1998 lahir Keppres No. 27 Tahun 1998 tentang pembentukan BPPN.


Kinerja BPPN
BPPN yang bertugas sejak tanggal 27 Februari 1998 dalam kinerjanya dinilai banyak pihak memiliki banyak kekurangan. Salah satu hal yang banyak disoroti adalah komponen biaya yang telah dikeluarkan oleh BPPN ( baik biaya operasional maupun non operasional ) yang sangat besar. Sebagai contoh misalnya: pada bulan Januari s/d Maret 2001, BPPN telah menghabiskan biaya 422,09 milyar , sementara penerimaanya sampai tanggal 30 April 2001 hanya 7,32 trilyun. Dan dari penerimaan tersebut yang sudah disetorkan ke Departemen Keuangan hanya sebesar 6,25 trilyun rupiah. Dari hal diatas dapat kita katakan bahwa BPPN terlalu boros (in-efesien) dalam menjalankan tugasnya untuk mengembalikan/mengelola aset negara.

Di sisi yang lain, terlalu seringnya pergantian pucuk pimpinan di BPPN menyebabkan ketidaksinambungan kepemimpinan di BPPN. Hal ini semakin memperlemah kepercayaan publik terhadap BPPN akibat tidak adanya prosedur yang bisa dipertanggungjawabkan dalam persoalan pergantian pimpinan, misalnya saja mengenai fit and property test.

Hal lain yang menyebabkan tidak efektif dan tidak efesiennya kinerja BPPN adalah kurangnya transparansi serta adanya “pasien BPPN yang menjadi penasihat BPPN” sebagaimana disampaikan Ketua BPPN yang baru, I Putu Gede Ary Suta


Teori Supremasi Hukum.
Hukum Indonesia, di dalam sistemnya menganut teori supremasi hukum yang merupakan satu teori yang diperkenalkan pertama kali oleh Hans Kelsen, seorang pemikir hukum terkenal dalam abadnya. dengan teori orisinilnya berjudul Stufen Theory. Dalam teori ini, segala peraturan perundangan di bawah tidak boleh bertentangan dengan produk- produk hukum diatasnya. Apabila di dalam lapangan hukum terdapat sebuah produk hukum bertentangan dengan produk hukum diatasnya ( lebih- lebih bertentangan dengan ground norm atau norma dasar/konstitusi), maka produk hukum yang bertentangan tersebut harus batal demi hukum.


Carut- marutnya peraturan
Undang- Undang Dasar 1945 di dalam pasal 24-nya mengatur bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan- badan kehakiman lain yang ditetapkan dengan Undang- Undang. Dan lebih jauh, Undang- Undang yang mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman ini adalah Undang- Undang No.14 Tahun 1970. Di dalam Undang- Undang tersebut telah diatur dengan tegas bahwa kekuasaan kehakiman harus bersifat mandiri.

BPPN sebagai badan khusus yang di bentuk berdasarkan Keppres No. 27 Tahun 1998, memiliki kekuasan yudikatif yang sama dengan institusi peradilan, sebagaiman diatur di dalam pasal 53, 54, 55, 56, 57, 58, dan 59 PP No.17 tahun 1999. Mengingat BPPN adalah sebuah lembaga yang inheren dengan pemerintah, maka seharusnya BPPN tidak dapat melakukan fungsi- fungsi yudikatif sekaligus fungsi- fungsi eksekutif, karena sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan lebih khusus Undang- Undang No. 14 Tahun 1970, bahwa kekuasaan yudikatif harus bersifat mandiri.

Jadi dengan diberlakukannya PP No. 17 Tahun 1997 tersebut telah terjadi proses peradilan oleh pihak-pihak di luar badan-badan peradilan, yang dalam hal ini dilakukan oleh pemerintah (kekuasaan eksekutif) melalui BPPN. Ini sangat bertentangan dengan hakekat Indonesia sebagai rechtstaat (negara hukum) bukan machtstaat (negara kekuasaan).

Dalam hal penagihan utang (sebagaiman diatur di dalam pasal 54, 55, 56, dan 57 PP No. 17 Tahun 1999), kewenangan BPPN ini bertentangan dengan Undang- Undang No. 49 Prp Tahun 1960 Tentang Panitya Urusan Piutang Negara ( kini Panitya Urusan Piutang Dan Lelang Negara). Selain itu, kewenangan BPPN mengenai penagihan utang tersebut juga sangat berlawanan dengan isi dan semangat dari UU No. 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.

Hal lain yang menimbulkan kerancuan serta membuat terjadinya kontradiksi hukum adalah mengenai penyerahan piutang negara oleh instansi pemerintah dan badan- badan negara (seperti BUMN) kepada BPPN sebagaimana yang termaktub dalam PP No 17 Th 1999 adalah bertentangan dengan pasal 12 ayat (1) UU No. 49 Prp th 1960 yang nyata- nyata masih berlaku.

Adanya kewenangan BPPN untuk menerbitkan surat paksa dan dipergunakan lembaga tersebut untuk melakukan penagihan piutang kepada debitor adalah juga merupakan suatu tindakan yang menyalahi hukum yang berlaku, mengingat yang berhak menerbitkan surat paksa adalah Panitya Urusan Piutang dan Lelang Negara sebagai institusi yang berwenang dalam hal mengurus, mengawasi dan menyelesaikan setiap perkara piutang negara. Sehingga, BPPN tidak berhak menerbitkan surat paksa dengan berkepala ''Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa''.

Kewenangan lain BPPN yang perlu dicermati karena bertentangan dengan ketentuan hukum yang lebih tinggi adalah soal peletakan, pencabutan dan pengangkatan sita eksekusi terhadap harta benda milik debitor tanpa didasari oleh suatu akta yang disamakan dengan putusan badan peradilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Hukum acara perdata mengatur, sita eksekusi hanya dapat dilakukan berdasarkan suatu perintah ketua pengadilan negeri, setelah pihak yang dikalahkan tidak memenuhi putusan atau tidak menghadiri panggilan tanpa alasan yang patut.


Penutup
Dari berbagai paparan diatas tentunya bisa kita ambil sebuah konklusi, bahwa dengan dalih apapun keberadaan BPPN tidak bisa dibenarkan secara yuridis, sehingga sangatlah layak apabila lembaga khusus tersebut di bubarkan.
Akan tetapi yang tetap harus menjadi catatan kita bersama adalah bahwa perbankan (sekaligus perekonomian) kita saat ini masih butuh sebuah lembaga yang sejenis dengan BPPN. Oleh karena itu wajib menjadi pemikiran kita bersama untuk dapat dengan segera menciptakan sebuah lembaga yang mampu menyehatkan perekonomian nasional sekaligus memiliki “kesehatan hukum” dalam dirinya





Baca Selengkapnya...

Kemiskinan di Indonesia


oleh : sonny t danaparamita

Awalan
Krisis Moneter yang beberapa tahun yang lalu datang secara tiba-tiba di kawasan Asia Tenggara telah menghancurkan perekonomian beberapan negara di kawasan ini. Bak gelombang tsunami, krisis tersebut telah meluluhlantakan sendi-sendi perekonomian berbagai negara. Dengan masa “penularan” yang sangat cepat, krisis ini dengan ganas menyebar mulai dari Malaysia, Singapura, Filipina, Indonesia dan Korea Selatan.

Sebab-musabab dari krisis moneter yang telah membawa efek domino luar biasa tersebut telah mengundang perdebatan para pengamat. Mengutip tulisan dari Ibrahim Yusuf, ada dua kelompok yang memiliki pandangan yang berbeda. Sebagian menilai penyebab dari krisis moneter di Asia Tenggara tersebut adalah faktor internal. Dalam pandangan kelompok ini kultur politik dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara tidak cocok dengan kultur politik barat yang memang memberi ruang pada kapitalisme, sehingga kultur politik Asia Tenggara tersebut menjadi tidak selaras dengan nilai-nilai ekonomi yang telah diimpornya. Sementara sebagian pihak lain menyatakan bahwa faktor eksternal sebagai penyebabnya menyodorkan argumen yang antara lain adalah adanya dampak perkembangan dari perekonomian negara-negara maju dan pasar keuangan global-lah yang menyebabkan ketidakseimbangan global.(Reformasi Kehidupan Bernegara, Kompas, 1999:44)



Kemiskinan Indonesia sebagai Problem Struktural
Di Republik tercinta ini, Krisis Moneter (krisis ekonomi) telah membawa efek kemana-mana. Sebelum krisis melanda kita, tingkat pertumbuhan ekonomi negara kita ini bisa mencapai hingga 7 % pertahun. Namun begitu dihantam oleh krisis, pertumbuhan tersebut berbalik drastis menjadi minus 13 % dan berdampak luas serta mendalam pada derajat dan kualitas kemiskinan itu sendiri. Lebih lanjut, sungguh menarik membaca temuan dan hasil diskusi panjang yang dilakukan oleh GAPRI (Gerakan Anti Pemiskinan Rakyat Indonesia). Kelompok ini memandang bahwa situasi kemiskinan atau pemiskinan sesungguhnya adalah proses pemiskinan atau kemiskinan struktural. Dalam konteks ini, kemiskinan struktural diartikan sebagai upaya sistematis terhadap perampasan daya kemampuan (capability deprivation) manusia atau kelompok masyarakat, sehingga membuat manusia atau kelompok masyarakat tersebut masuk dalam lingkaran kehidupan yang memiskinkan, dimiskinkan/dimarginalkan secara sosial, ekonomi dan politik. Sedangkan “perampasan daya” tersebut adalah sebuah proses penguasaan sitematis yang dijalankan oleh kekuatan ekonomi dan politik atas hak dan daya sosial ekonomi, daya politik, dan daya psykologis warga negara ( si miskin).
Indikator dari perampasan daya dimaksud dapat dilihat dari: (1) Indeks kemiskinan manusia, (2) Penduduk yang meninggal dibawah 40 tahun, (3) Tingkat buta huruf orang dewasa, (4) Orang tanpa akses air bersih, (5) Orang tanpa akses ke jasa pelayanan kesehatan, (6) Balita kurang gizi, serta (7) Meluasnya internalisasi budaya kemiskinan. (Hal ini merupakan perspektif tanding dari ornop atas “paradigma arus utama”)

Kini tiba saatnya kita mencoba masuk lebih dalam untuk mengupas problem kemiskinan di Indonesia dengan satu pertanyaan mendasar, yakni: “ Apakah kemisikinan di Indonesia memang tepat untuk dikatakan sebagai sebuah pemiskinan atau kemiskinan struktural ? “

Pada sisi ini, saya sependapat dengan hasil temuan GAPRI maupun pihak-pihak yang menyatakan bahwa kemiskinan di Indonesia muncul karena adanya pemiskinan struktural. Argumentasi yang mendasari atas jawaban tersebut adalah adanya fakta-fakta yang ada bahwa problem kemiskinan di Indonesia sebenarnya adalah problem yang muncul bukan pada saat munculnya krisis ekonomi yang terjadi di tahun 1997 lalu -tapi jauh sebelum itu-, yakni ketika Indonesia masih dalam masa yang sering disebut dengan jaman Orde Baru. Pada masa itu, meskipun pertumbuhan ekonomi dianggap mantap ( 7 % ), namun tidak diikuti dengan pemerataan ekonomi. Dan sebagaimana yang telah menjadi pengetahuan bersama, ketimpangan kesejahteraan menjadi hal yang sangat mencolok terlihat pada skala nasional. Segelintir orang menguasai prosentase besar atas daya politik dan daya ekonomi di negara ini. Dan pada giliran berikutnya sejarah telah mencatat bahwa penguasaan daya politik dan daya ekonomi oleh sebagian kecil penduduk tersebut semakin dimaksimalkan dengan cara melakukan “perampasan daya” terhadap warga miskin yang masih memilikinya. Dan hal inilah yang kemudian membuat grafik ketimpangan ekonomi, sosial, dan politik di negeri ini semakin meningkat laksana deret ukur. Dan tentu saja, masalah kemiskinan akhirnya tetap menjadi masalah klasik yang selalu mengikuti sejarah perjalanan bangsa ini.


Tiga Pihak
Sebelum kita melangkah lebih jauh untuk mencari solusi atas masalah kemiskinan di negara ini, tentunya kita semua harus bersepakat dulu bahwa masalah kemiskinan adalah masalah yang multidimensi. Oleh karena itu, untuk menyelesaikannyapun kita harus bekerja dengan semua pihak, baik itu Pemerintah (yang tentu saja harus lintas departemen), Swasta, serta Masyarakat sebagai pihak yang dalam konteks kemiskinan struktural berada dalam posisi korban.

Sesuai dengan kedudukannya sebagai penyelenggara negara, kapasitas Pemerintah dalam memberantas kemiskinan sudah sepatutnya memegang posisi yang dominan. Namun demikian, sesuai dengan amanat Undang-Undang, peran ini bukan saja menjadi peran Pemerintah Pusat semata, melainkan juga peran dari Pemerintah Daerah, khususnya daerah kabupaten/kota. Undang-Undang yang bisa dijadikan acuan dalam kasus ini paling tidak adalah Undang-Undang nomor : 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Dalam Undang-Undang tersebut telah disebutkan dengan jelas bahwa Pemerintah Daerah memiliki ruang yang besar dalam kaitannya antara masyarakat dan pembangunan, halmana apabila dikerucutkan pada thema dari tulisan ini adalah hal–hal yang menyangkut tentang problem kemiskinan. Dan kata kunci yang tersurat jelas dalam Undang-Undang tersebut adalah “ Partisipasi atau Pemberdayaan Masyarakat ”.

Sedangkan pihak ke dua adalah Swasta (pengusaha). Pihak ini menjadi pihak yang juga penting untuk dilibatkan karena posisi pengusaha sebagai pelaku ekonomi bisa menjadi penunjang dari pemberdayaan ekonomi di tingkat bawah. Hal tersebut paling tidak bisa dilihat dari program yang telah dilakukannya, yakni memalui apa yang disebut dengan Corporate Social Responsibility. Lewat program ini, perusahaan-perusahaan dapat ikut mendorong berkembangnya usaha-usaha mikro yang diantaranya dengan cara pemberian bantuan kredit bagi usaha kecil maupun perorangan yang berusaha melakukan kemandirian ekonomi. Dan dari program inilah pemberdayaan ekonomi mikro setapak demi setapak dapat menemui titik kemajuannya.

Sebagai pihak terakhir yang wajib untuk dilibatkan adalah Warga Masyarakat (miskin) itu sendiri. Dalam tahap ini masyarakat yang ada harus dilibatkan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasinya.


Mencari solusi
Dalam alenia sebelumnya telah disinggung bahwa masalah kemiskinan adalah masalah yang multidimensional. Oleh karena itu untuk memberantasnyapun bukan hanya membutuhkan banyak pihak, akan tetapi juga harus dengan banyak pola. Dan dalam tulisan inipun saya akhirnya juga harus meminta maaf, karena unsur-unsur yang menjadi penyebab dari kemiskinan sangatlah banyak dan variatif, maka tulisan inipun dengan segala keterbatasan yang ada tentu saja tidak akan sampai secara detil memberikan sebuah jawaban yang bisa menggambarkannya hingga teknis. Namun demikian saya ingin menyampaikan kembali bahwa salah satu kata kuncinya adalah “Pemberdayaan Masyarakat”.

Bagi saya, kata kunci pemberdayaan masyarakat tersebut bukanlah kata yang bisa berdiri sendiri. Konsep ini perlu sebuah qondisio sine quanon. Dan qondisio sine quanon ini dalam beberapa hal sebenarnya telah dilakukan oleh Pemerintah, yang dalam bentuk teknisnya berupa program yang disebut PPK, P2KP, P3DT, KUT, dsb. Namun demikian -meskipun telah membawa hasil-, beberapa program tersebut masih perlu untuk dilakukan pembenahan - pembenahan yang bisa semakin memaksimalkan dari tujuan dan sasaran program. Pembenahan-pembenahan tersebut khususnya pada tingkat pengawasannya, mengingat masih banyaknya kasus mengenai terjadi kebocoran pada pelaksanaan program.

Sedangkan hal-hal lain yang perlu untuk dilakukan Pemerintah saat ini adalah melakukan perubahan paradigma dan menindaklanjutinya dengan yang lebih kongkrit di departemen atau badan yang ada. Paradigma yang kurang menempatkan masalah kemiskinan sebagai masalah utama dan pertama dari problem pembangunan harus segera diubah. Dan perubahan paradigma ini di tingkat internasional sekarang sudah dilakukan oleh Yayasan yang memberikan penghargaan Nobel dengan cara memberikan salah satu penghargaannya kepada tokoh yang memperjuangkan perekonomian masyarakat bawah. Pada kasus di Indonesia, Badan Pertanahan Nasional yang mencanangkan program sertifikasi dan pemberian lahan bagi petani yang tidak memiliki sawah apabila bukan sebatas wacana adalah kebijakan tepat yang memang harus dilakukan Pemerintah saat ini. Dan redistribusi aset ini akan semakin mempercepat menghilangkan kemiskinan apabila diikuti dengan redistribusi akses yang lain, baik akses di bidang pendidikan, kesehatan, maupun akses politik dalam arti partisipasi publik. Akses di bidang pendidikan menjadi penting karena dalam tantangan globalisasi persaingan yang terberat adalah persaingan pada tingkat keunggulan Sumber Daya Manusia.

Akses di bidang kesehatan juga menjadi hal yang sangat penting bagi masyarakat karena hanya manusia-manusia sehatlah yang bisa bekerja dan berbuat lebih produktif. Sedangkan akses politik dalam arti partisipasi publik menjadi bagian yang juga penting karena disamping program pembangunan akan lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat, partisipasi publik juga akan membawa dampak psykologis yang sangat positif bagi masyarakat.

Apabila ditinjau lebih jauh, masih banyak hal-hal yang harus dilakukan oleh kita semua (bukan Pemerintah semata), mengingat masalah kemiskinan adalah juga merupakan masalah ekonomi, yaitu sebuah masalah yang menurut para ahli teori sosial seperti Emile Durkheim dan Max Weber merupakan masalah yang terproses oleh kekuatan-kekuatan politik, hukum, dan keluarga (sebagai komunitas terkecil dari masyarakat).


Akhiran
Terlepas dari pentingnya peranan dari tiga pihak yang telah disebutkan diatas, peranan pemerintah (pusat) dalam melakukan pemberantasan kemiskinan di Indonesia adalah tetap masih sangat urgen. Sebagai penyelenggara negara, pemerintah (pusat) adalah institusi yang memiliki kewenangan–kewenangan luar biasa yang tidak dimiliki dua pihak yang lain. Kondisi ekonomi (kemiskinan) Indonesia ketika diperhadapkan dengan globalisasi akan terlihat semakin memprihatinkan. Dan kondisi ini sangat membutuhkan pemerintahan yang cermat dan dapat menyelamatkan dan mensejahterakan warganya. Keprihatinan ini mungkin tidak akan berlebihan ketika kita mengingat tempe yang sekarang menjadi lauk primadona kebanyakan masyarakat kita (karena dinilai sehat tapi murah) pada suatu saat nanti tiba-tiba menjadi sebuah barang yang harganya tidak terjangkau masyarakat karena hak patennya telah didaftarkan oleh warga negara dari negara lain.......Oleh karena mari kita bekerja bersama dan berdoa, semoga kondisi ini tidak semakin rumit.

Jakarta, 31 Desember 2006



Sumber bacaan :
1. Reformasi Kehidupan Bernegara, penerbit Kompas : 1999
2. Empat Pilar Demokratisasi, penerbit GAPRI : 2003
3. Undang-Undang no. 32 tahun 2004, penerbit Ramdina Prakarsa : 2004
4. Sosiologi Ekonomi, penerbit Bahana Aksa : 1987



Baca Selengkapnya...


Free chat widget @ ShoutMix