<data:blog.pageTitle/>

04 Januari 2008

Menangani Konflik dengan UUPB, sebuah regulasi yang dipaksakan


Beberapa hari yang lalu, pesta meriah dalan rangka menyongsong tahun baru digelar di mana-mana. Di Jakarta saja, paling tidak ada enam titik besar pesta digelar lengkap dengan artis-artis papan atas kita. Monas sebagai salah satu titik pesta tersebut, semakin gemerlap dengan dinyalakannya 10.000 kembang api yang sengaja dipersiapkan oleh panitia. Hujan deras yang mengguyur ibu kota sejak siang hari, ternyata tak mampu menghentikan langkah kaki dua juta manusia menuju taman yang letaknya berhadapan langsung dengan istana negara dan kantor-kantor pemerintahan lainnya. Sementara itu di beberapa wilayah lain di nusantara tercinta ini, hujan tangis juga turut mengalir deras keluar dari sepasang mata dari ribuan keluarga korban yang sedang tertimpa bencana. Kerumunan massa pun juga terjadi guna mencari dan menyelamatkan para korban yang hilang terseret banjir ataupun terpendam akibat tanah longsor.

Seminggu sebelumnya, media cetak dan elektronik secara serentak menayangkan kilas balik rangkaian peristiwa yang terjadi selama tahun 2007. Dari kaleidoskop-kaleidoskop tersebut, kita semua menjadi teringat kembali atas berbagai tragedi yang menyelimuti bangsa ini. Hilangnya pesawat adam air, adanya musibah kapal tenggelam, adanya peningkatan aktivitas hingga meletusnya beberapa gunung berapi, bencana banjir, musibah angin puting beliung, peristiwa tanah longsor, kasus lumpur lapindo, adanya pembakaran tempat ibadah suatu kelompok, merebaknya kemelut pilkada, hingga tawuran antar kampung menjadi pengisi dari lembaran hitam sejarah yang telah terjadi di bumi pertiwi ini. Dan hingga memasuki awal tahun 2008, ternyata berbagai bencana yang diakibatkan oleh alam dan ulah manusia, serta bermacam konflik sepertinya masih tetap menghampiri negara ini. Dari semua yang telah terjadi, sempat kemudian kita merenung, kesalahan apa yang telah diperbuat oleh bangsa kita ?

*****************************
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 atau yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Penanggulangan Bencana disyahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 26 April 2007. Agar setiap orang mengetahuinya, selanjutnya Pemerintah mengundangkannya dengan menempatkannya di dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66. Dari sisi inisiasi -dengan membaca “mengingat” dari undang-undang ini-, kita semua bisa mengetahui bahwa Undang–Undang tersebut proses pembentukannya diawali atas usul dari Dewan Perwakilan Rakyat. Dari penelusuran yang ada, momentum tersebut terjadi pada awal tahun 2005 ketika bencana alam “secara massal dan rutin” mulai terjadi di hampir seantero nusantara.
Sebagaimana yang telah diatur di dalam Ketentuan Umum-nya, bahwa yang dimaksud dengan bencana di dalam Undang-Undang ini adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Lebih lanjut, bencana sebagaimana dimaksud kemudian dikategorikan menjadi tiga hal, yakni bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial.
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Sedangkan bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.
Meskipun di dalam pasal 1 dari Undang-Undang ini secara tersurat mengatur tentang bencana sosial, namun dalam kenyataannya undang-undang tersebut sebenarnya lebih tepat apabila disebut sebagai Undang-Undang Bencana Alam, yakni yang hanya melingkupi bencana alam (natural disaster) itu sendiri maupun bencana non alam atau akibat ulah manusia (manmade disaster). Mengapa demikian ?

Kalau kita membaca Undang-Undang yang terdiri dari 13 (tiga belas) bab dan 85 (delapan puluh lima) pasal ini, pasal-pasal yang mengatur tentang bencana sosial (konflik) sesungguhnya sangatlah minim. Kesan sekedar mengakomodir pihak-pihak yang menginginkan adanya regulasi yang khusus mengatur tentang penanganan konflik sangatlah kentara sekali. Dari 85 (delapan puluh lima) pasal tersebut, konflik secara jelas hanya diatur pada beberapa pasal, itupun hanya pada ayat-ayatnya saja. Dan yang jauh lebih penting, setelah secara utuh kita mempelajari produk hukum ini, maka Undang-Undang tersebut nyata-nyata menggunakan bencana alam sebagai paradigmanya. Padahal sebagaimana yang telah menjadi pemahaman bersama, bahwa antara bencana alam dan bencana sosial adalah dua hal yang memiliki karateristik sangat jauh berbeda.

Beberapa perbedaan mendasar yang ada antara bencana alam dan bencana sosial (konflik) antara lain sebagai berikut:
  • Pertama mengenai lingkup dimensinya. Dalam bencana alam, lingkup dimensinya hanyalah terbatas pada dimensi manusia yang berinteraksi dengan alam. Sedangkan pada bencana sosial memiliki multidimensi, baik yang bersifat vertikal, horizontal, bahkan diagonal.
  • Kedua mengenai dampaknya. Dalam bencana alam, korban jiwa yang ada sangatlah terlokalisir hanya pada wilayah dimana sebuah bencana terjadi. Sedangkan pada bencana sosial, dampak yang muncul bisa berupa koban jiwa, perampasan harta, pelanggaran HAM, dan kesemuanya sangat berpeluang meluas ke mana-mana. Selain itu, apabila bencana alam tidak begitu berdampak pada citra negara, lain halnya dengan bencana sosial yang sangat mempengaruhi citra negara, khususnya dalam hal pembangunan demokrasi dan Hak Azasi Manusia. Sedangkan dampak yang berkaitan dengan keutuhan negara, jelas-jelas bahwa bencana alam bukan ancaman integrasi nasional. Hal ini berbeda sekali dengan bencana sosial yang dapat memicu terancamnya keutuhan negara.
  • Ke tiga dari sisi aktornya. Kecuali aktor yang berperan memberikan bantuan kemanusian kepada para korban, tidak ada lagi aktor lain yang ada pada bencana alam. Sedangkan pada bencana sosial, aktor bisa kemana-mana dan dimana-mana, baik pada level elit, menengah, sampai dengan akar rumput. Dan hal penting lain adalah mengenai kelonggaran pihak-pihak (aktor) yang akan memberikan bantuan. Jika dalam sebuah bencana sosial seluruh pihak dibiarkan secara bebas keluar masuk memberikan bantuan pada suatu wilayah yang sedang terjadi konflik, maka kemungkinan yang muncul adalah mobilisasi kekuatan yang pada gilirannya justru dapat semakin memperkeruh keadaan
  • Ke empat dari sisi upaya preventif dan penanganan paska bencana. Dalam upaya preventif ini, sistem siaga dini atau early warning system yang dipakai dalam bencana alam dan bencana sosial sangat jauh berbeda. Demikian pula dalam hal penanganan paska bencananya. Kalau dalam bencana alam, penanganan lebih diprioritaskan pada korban jiwa, namun dalam penanganan bencana sosial hal pertama yang harus dilakukan adalah penghentian kekerasan, yang kemudian diikuti dengan penanganan terhadap korban jiwa. Diluar beberapa hal yang telah disebutkan tadi, masih ada hal-hal lain yang secara prinsip memiliki karakteristik yang berbeda diantara keduanya.
*****************************

Dengan perbedaan-perbedaan yang mendasar antara bencana alam dan bencana sosial tersebut, maka sangatlah berbahaya apabila Undang-Undang Penanganan Bencana ini tetap digunakan dalam menangani konflik. Berbahaya yang dimaksud disini adalah bukan hanya akan bertentangan dengan undang-undang yang lain ataupun melanggar Hak Azasi Manusia, lebih jauh dari itu bahkan dapat menimbulkan terjadinya reproduksi konflik. Satu pasal yang dapat dijadikan contoh atas kemungkinan yang muncul apabila undang-undang ini digunakan dalam menangani konflik adalah pasal 32. Ayat (1) pasal ini menyatakan bahwa dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, Pemerintah dapat menetapkan daerah rawan bencana menjadi daerah terlarang untuk pemukiman dan atau mencabut, mengurangi sebagian atau seluruh hak kepemilikan setiap orang atas suatu benda sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan. Dalam konteks hak tentang kepemilikan tersebut, ayat ini jelas sekali bertentangan dengan pasal 28 H ayat (4) UUD 1945 serta pasal 19 ayat (1) Undang-Undang tentang Hak Azasi Manusia. Dalam pasal 28 H ayat (4) UUD 1945 disebutkan bahwa “setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”. Sedangkan pasal 19 ayat (1) Undang-Undang HAM menyebutkan bahwa “Tiada suatu perlanggaran atau kejahatan apapun diancam dengan hukuman berupa perampasan seluruh harta kekayaan milik yang bersalah”.

Jikalau penanganan bencana sosial masih tetap dalam ruang lingkup Undang-Undang Penanggulangan Bencana dan pada suatu saat terjadi konflik antara masyarakat yang mengaku pemilik tanah dari sebuah wilayah yang secara fisik sedang dikuasai oleh aparat negara (misalnya TNI), pertanyaannya adalah seberapa besar garis persinggungan kepentingan ataupun netralitas Pemerintah dalam menangani masalah tersebut? Bukan mustahil atas nama penanggulangan bencana (sosial), warga Pasuruan yang sedang mengalami konflik dengan TNI tanahnya dapat “dirampas secara legal” oleh negara berdasar pasal 32 ini.
Lepas dari persoalan tanah yang memiliki fungsi sosial, seluruh masyarakat di Poso dan Ambon bisa jadi akan kehilangan seluruh hak miliknya apabila Undang-Undang Penanggulangan Bencana ini dijadikan payung hukum dalam melakukan penanganan bencana sosial. Hanya dengan menetapkan kedua daerah tersebut sebagai daerah rawan bencana, maka Pemerintah secara sah sudah dapat mengusir, mencabut atau mengurangi sebagian ataupun seluruh hak kepemilikan atas suatu benda yang dimiliki oleh seseorang. Bahkan seorang jurnalispun (yang saat ini sering dituduh sebagai provokator) dengan serta merta alat tulis ataupun kameranya dapat dirampas apabila berada dalam suatu daerah yang berstatus rawan bencana. Demikian juga dengan masyarakat Sulawesi Selatan yang saat ini sedang mengalami kemelut pilkada. Hak kepemilikan atas tanah dan rumahnyapun dapat dicabut oleh Pemerintah apabila Pemerintah menilai dan selanjutnya menetapkan bahwa daerah Sulawesi Selatan adalah daerah rawan bencana. Dan pertanyaan berikutnya adalah: apakah semua hal tersebut mungkin terjadi ?
Sebelum menjawab itu, akan lebih baik apabila kita menoleh berbagai peristiwa kekerasan atau konflik yang diakibatkan oleh adanya Kepres nomor: 55 tahun 1993. Berdasarkan atas Kepres tersebut, pada masa lampau banyak sekali terjadi tanah-tanah rakyat diambil alih oleh Pemerintah dengan ganti rugi yang jauh dari harga pasar. Dengan mengatasnamakan pembangunan, tanah-tanah tersebut dikemudian hari ternyata menjelma menjadi lapangan golf, gedung bioskop, villa-villa mewah, dan bangunan-bangunan lain yang jauh dari kepentingan umum (dan masalah kepemilikan tanah ini pada masa orde baru lalu menjadi penyebab terjadinya konflik).

Sementara berdasarkan atas Undang-Undang Penanggulangan Bencana, point yang menyebut tentang pengertian rawan bencana dalam hemat saya merupakan “point karet” yang bisa dibawa melar kemana-mana sesuai keinginan politik penguasa. Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan rawan bencana adalah “kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan eknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu”.
Dengan belajar atas kasus-kasus di masa lalu serta point 14 dari pasal 1 Undang-Undang Penanggulangan Bencana yang merupakan ”point karet” tersebut, maka ”berbagai bahaya” yang dapat menyebabkan terjadinya reproduksi konflik sangatlah mungkin dapat terjadi.

*****************************

Sebagai akhir dari tulisan ini, mari kita mulai dengan sebuah pertanyaan ”Lantas apa yang harus kita lakukan demi mewujudkan sebuah perdamaian?” Secara teoritik, Indonesia yang memiliki keanekaragaman golongan, suku, agama, ras, budaya, serta diwarnai dengan ketidakadilan dan kesenjangan sosial, kemiskinan, serta kehidupan politik yang sangat dinamis telah menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara yang memiliki potensi konflik yang cukup tinggi. Sementara pada sisi kerangka hukum, hingga detik ini belum ada satu regulasipun yang secara memadai dapat dijadikan landasan hukum dalam melakukan penanganan konflik. Menggunakan Undang-Undang Penanganan Konflik berikut Peraturan Pemerintah-nya sebagai pijakan hukum, jelas-jelas tidak tepat dan dapat menciptakan konflik baru. Ketidakjelasan tahap-tahap penanganan konflik dan masih adanya kesan sektoral adalah kendala lain yang menyebabkan tidak memadainya peraturan perundangan tersebut. Dan dari berbagai pertimbangan yang ada, salah satu solusi yang dapat dijadikan pilihan adalah dengan membuat sebuah undang-undang yang khusus mengatur tentang penanganan konflik. Dengan membuat undang-undang baru yang khusus mengatur tentang Penanganan Konflik, diharapkan akan ada pergeseran paradigma dalam melakukan penanganan konflik di Indonesia. Paradigma lama yang sangat sentralistik, reaktif, kurang komperhensif, dan government centric sudah bukan waktunya untuk dipergunakan kembali. Pada masa-masa mendatang, paradigma yang tepat untuk dipakai dalam melakukan penanganan konflik adalah berbasiskan masyarakat, mengutamakan kearifan lokal, desentralisasi, komperhensif, preventif, serta memberikan perhatian yang lebih pada kelompok rentan, baik itu anak-anak, kaum perempuan, dan orang tua. Dengan paradigma tersebut, diharapkan akan terwujud suatu mekanisme pertahanan diri yang tumbuh di masyarakat. Dan dengan mekanisme pertahanan diri tersebut pada tahap berikutnya akan muncul budaya-budaya perdamaian di setiap komunitas atau kelompok yang ada. Apabila budaya perdamaian sudah berada pada setiap komunitas dan sendi-sendi kehidupan yang ada, maka sudah barang tentu konflik-konflik yang selama ini selalu mengikuti proses perjalanan bangsa ini tidak akan pernah terjadi lagi.
Dan sebagai penutup, kita perlu mengingat kembali bahwa dasar kita bernegara adalah membentuk suatu Pemerintah yang dapat menciptakan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Semoga.
Jakarta, awal tahun 2008

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda


Free chat widget @ ShoutMix