<data:blog.pageTitle/>

07 Mei 2008

Corporate Social Responsibility, simalakama yang bukan simalakama


Pembangunan perekonomian nasional yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan masyarakat diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dan berprinsip kebersamaan, berkeadilan, berwawasan lingkungan, berkemandirian, serta menjaga keseimbangan antara kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Agar peningkatan pembangunan perekonomian nasional dapat terwujud, diperlukan adanya undang-undang yang khusus mengatur tentang Perseroan Terbatas. Sebelumnya, mengenai Perseroan Terbatas ini telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 yang merupakan pengganti dari peraturan perundang-undangan yang lama dan merupakan produk zaman kolonial. Dalam perkembangannya, ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tersebut dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman. Selain itu, meningkatnya tuntutan masyarakat akan layanan yang cepat, kepastian hukum, serta tuntutan akan pengembangan dunia usaha yang sesuai dengan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance) telah menuntut perlunya dilakukan penyempurnaan terhadap Undang-Undang tersebut.

Selanjutnya, setelah melalui tahap-tahap sebagaimana ketentuan yang diatur Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka pada tanggal 16 Agustus 2007 yang lalu telah diundangkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dan sebagaimana yang telah menjadi pengetahuan kita bersama bahwa salah satu pasal dalam Undang-Undang tersebut mengatur tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Di dalam penjelasan umumnya diuraikan bahwa tujuan dari pengaturan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan ini adalah untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan itu sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Lebih jauh, ketentuan ini dimaksudkan untuk mendukung terjalinnya hubungan perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Untuk itu, maka telah ditentukan pula mengenai perseroan yang kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Dalam melaksanakan kegiatan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan ini, perseroan harus menganggarkan dan memperhitungkannya sebagai biaya perseroan yang dilaksanakan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Dan kegiatan tersebut selanjutnya harus dimuat dalam laporan tahunan perseroan. Apabila diketahui perseroan tidak melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, maka perseroan yang bersangkutan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagi para pengusaha, tentu saja hal tersebut hanyalah merupakan pembengkakan biaya usaha yang berarti pengurangan terhadap perolehan keuntungan. Para pelaku usaha dan beberapa pihak yang lain menilai, bahwa menempatkan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagai kewajiban adalah sesuatu yang bukan pada tempatnya. Prinsip klasik telah menyatakan bahwa perusahaan didirikan hanyalah dengan satu tujuan, yakni mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Pendapat tersebut sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh seorang ekonom peraih Nobel, yaitu Milton Friedman. Menurut ekonom ini, kegiatan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai pengkhianatan terhadap para pemilik saham perusahaan. Hal ini senada dengan saran yang disampaikan oleh konsultan bisnis terkemuka, Peter F. Drucker. Konsultan bisnis ini menyarankan kepada pemilik perusahaan untuk memecat kepada setiap eksekutif perusahaan yang ingin melaksanakan Corporate Social Responsibility. Akibat masih adanya paradigma seperti itulah, maka dengan tanpa dikomando para pelaku usaha di Indonesia yang menganut paradigma tersebut langsung “berteriak” ketika konsep Corporate Social Responsibility ini hendak diatur dalam sebuah Undang-Undang.

Serangan dari Para Pelaku Usaha
Sejak masih dalam pembahasan, Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas ini sebenarnya telah mendapatkan banyak “serangan” dari kalangan pelaku usaha. Salah satu hal yang menjadi pemicu atas serangan-serangan yang dilancarkan oleh para pelaku dunia usaha tersebut adalah mengenai Corporate Social Responsibility atau yang dalam Undang-Undang ini disebut dengan istilah Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Bahkan secara kelembagaan, Kadin dan sejumlah asosiasi sebagai pihak yang berkeberatan dengan peraturan ini telah menyatakan diri untuk terus mempersoalkan dan menggugat Undang-Undang yang menurutnya dapat memperburuk iklim dunia usaha di Indonesia. Dan saking bertubi-tubinya serangan yang dilakukan pada saat itu, sampai-sampai Wakil Presiden kitapun meresponnya dengan menyatakan bahwa para pengusaha tidak usah khawatir dengan pengelolaan CSR ini.
Meskipun pernyataan tersebut dilontarkan untuk meredam kekhawatiran para pengusaha, dengan membaca pernyataan sang Wapres tersebut sepertinya kita boleh menyimpulkan bahwa Jusuf Kalla yang nota bene juga seorang pengusaha ini kelihatannya sangat mahfum dengan kekhawatiran para pelaku usaha yang tergabung di Kadin tersebut. Wapres menangkap kesan bahwa kekhawatiran para pengusaha sebenarnya lebih terletak pada pengelolaan CSR-nya. Dan hal ini pada kenyataannya memang klop dengan pernyataan dari MS Hidayat yang menyatakan bahwa tanpa diikuti dengan Peraturan Pemerintah yang jelas, maka Undang-Undang ini akan menjadi bola liar di daerah-daerah yang akhirnya dapat merugikan para pengusaha. Lebih jauh, Ketua Umum Kadin ini menyatakan ketakutannya atas kemungkinan lahirnya Perda-Perda yang mengacu Undang-Undang ini, namun dengan interpretasi masing-masing. Selanjutnya, MS. Hidayat menegaskan bahwa interpretasi masing-masing yang dimaksud adalah “kebiasaan-kebiasan” dari Pemerintah Daerah yang getol menyusun “perda-perda penarikan” guna menggenjot perolehan Pendapatan Asli Daerah.


Tarik Menarik
Dalam negara demokrasi seperti Indonesia, tarik menarik atau perdebatan mengenai perumusan dan atau pelaksanaan sebuah kebijakan negara adalah suatu hal yang sangat biasa. Termasuk dalam ruang lingkup dari kebijakan negara yang dimaksud disini adalah Undang-Undang. Dalam proses pengusulan hingga ditetapkannya Undang-Undang nomor 40 tahun 2007, perdebatannyapun juga telah melibatkan hampir semua pihak. Sebagai pihak yang mengajukan Rancangan Undang-Undang (berdasarkan diktum “mengingat” dalam Undang-Undang ini), Pemerintahpun harus menghadapi perdebatan panjang dengan anggota-anggota DPR dan para pelaku usaha. Sedangkan di internal para pelaku usaha sendiripun perdebatan itu juga terjadi, yakni antara pihak yang menolak Undang-Undangnya dengan pihak yang tetap menyetujui Undang-Undangnya namun dengan catatan perlunya disusun Peraturan Pemerintah yang dapat memperjelas konsep dan pelaksanaan CSR.
Demikian juga di proses penyusunan Undang-Undang yang lain. Rancangan Undang-Undang Pernyataan Keadaan Bahaya dan Rancangan Undang-Undang mengenai Pornografi bahkan tercatat sebagai Rancangan Undang-Undang yang mendapat penolakan luar biasa dari sebagian rakyat Indonesia. Sedangkan contoh Undang-Undang lain syang berkaitan dengan dunia usaha dan mendapatkan penolakan dari sejumlah masyarakat adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Salah satu point yang ditolak oleh masyarakat pada saat itu diantaranya adalah adanya pasal yang mengatur tentang pemberian Hak Guna Usaha bagi para Penanam Modal hingga 95 (sembilan puluh lima) tahun. Masyarakat menilai bahwa Rancangan Undang-Undang tentang Penanaman Modal yang diusulkan oleh Pemerintah itu disamping jauh dari jati diri dan kemandirian bangsa, juga sangat potensial menjadi trigger terjadinya penggadaian wilayah Indonesia oleh Pemerintah yang sedang berkuasa
Dari beberapa contoh tersebut diatas, dapatlah kita simpulkan bahwa dinamika demokrasi akan selalu mengiringi setiap penyusunan sebuah peraturan perundang-undangan. Namun demikian, ada prinsip hukum yang harus tetap kita perhatikan bahwa ketika sebuah Undang-Undang telah disahkan dan diundangkan ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, maka setiap orang dianggap telah tahu dan wajib untuk mentaatinya.


Menyelaraskan Kepentingan
Sebagai tool of social engineering, hukum merupakan suatu sarana yang ditujukan untuk mengubah perilaku warga masyarakat agar sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkannya. Dalam kaitannya dengan pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, hukum bertujuan mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Dan dengan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan tersebut diharapkan kualitas kehidupan dan lingkungan menjadi meningkat dan bermanfaat, baik bagi Perseroan itu sendiri, komunitas setempat, dan masyarakat pada umumnya. Membaca isi dari tujuan Undang-Undang ini, dapatlah kita lihat bahwa sebenarnya tidak ada satupun pihak yang mengalami diskriminasi, baik dalam posisi dirugikan ataupun diuntungkan. Tapi kenapa perdebatan-perdebatan dan gugatan muncul atas pasal itu ?
Sebagaimana yang telah ditulis sebelumnya, bahwa perusahaan adalah lembaga pencari laba, bukan lembaga untuk beramal. Untuk itu, para eksekutif perusahaan hanya memiliki tanggung jawab kepada para pemilik saham, bukan kepada masyarakat dan lingkungan di sekitarnya. Selain itu, para pengusaha juga berpandangan bahwa Tanggung Jawab Sosial adalah hanya sebuah kepedulian, sehingga kalau diatur dalam Undang-Undang dan menjadi bersifat imperatif justru menjadi keliru.
Sementara pembuat Undang-Undang menyatakan bahwa konsep Tanggung Jawab Sosial sebenarnya justru dapat menambah keuntungan perusahaan. Selain itu, ditempatkannya Corporate Social Responsibility sebagai kewajiban didasari atas keberadaan sebuah Perseroan yang memang membawa dampak bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Dan yang tak kalah pentingnya juga adalah adanya tuntutan persaingan global. Tanpa membudayakan pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial sejak dini, akan sangat berat bagi sebuah perusahaan untuk berkompetisi di era globalisasi, termasuk dalam rangka mendapatkan sertifikat ISO.
Dari paparan tersebut diatas, dapatlah ditarik konklusi bahwa perbedaan perspektif dalam melihat Corporate Social Responsibility adalah faktor yang menyebabkan adanya tarik-menarik tersebut. Agar persepsi yang berbeda-beda itu dapat disamakan, maka salah satu solusi yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan sosialisasi-sosialisasi dan dialog mengenai Tanggung Jawab Sosial ini. Pihak yang memfasilitasi agenda tersebut bisa dari mana saja, namun kehadiran seluruh stakeholder, termasuk para ahli hukum, ahli ekonomi, ahli masalah-masalah sosial, serta para praktisi dan pejabat-pejabat di lingkungan legislatif dan eksekutif (daerah) adalah sesuatu yang sangat penting. Keterlibatan para pemangku kepentingan tersebut diperlukan agar konstruksi pemahaman atas Corporate Social Responsibility yang terbangun menjadi lebih tepat. Dan dengan pemahaman yang komperhensif pula, penyusunan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan Corporate Social Responsibility tidak akan melenceng dari tujuan Corporate Social Responsibility itu sendiri.


Penutup
Sebagai penutup kiranya perlu disampaikan beberapa catatan dalam tulisan ini. Yang pertama mengenai Perusahaan sebagai lembaga pencari laba. Dalam ranah ekonomi, hal tersebut mungkin memang benar adanya. Namun dalam paradigma yang mungkin lebih modern, ketika hal tersebut dilaksanakan secara hitam putih akan menemui banyak resiko. Kenapa? Adanya komitmen yang kuat dari seluruh masyarakat internasional terhadap keselamatan lingkungan telah menginisiasi munculnya penolakan-penolakan terhadap sebuah produk yang tidak ramah lingkungan. Sementara itu, buruk dan baiknya citra dari sebuah perusahaan akan memiliki korelasi dengan penjualan produknya. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, melaksanakan Corporate Social Responsibility adalah bagian dari membangun apa yang disebut dengan Modal Sosial. Oleh karena itu, tetap mengejar keuntungan tanpa mempedulikan lingkungan, adalah sebuah keputusan yang penuh resiko. Dengan melihat mainstream yang ada saat ini, perusahaan yang tidak melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan bukan hanya akan mendapatkan sanksi dari Pemerintah, bahkan tidak mustahil perusahaan yang bersangkutan akan gulung tikar akibat penolakan yang dilakukan oleh pasar.
Yang ke dua mengenai kejelasan rumusan maupun konsep tentang CSR itu sendiri. Meskipun di dalam Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tersebut telah memberi definisi yang jelas mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, akan tetapi penafsiran lebih jauh tentang konsep dan pelaksanaannya harus diperjelas dan disosialisasikan. Hal ini terlepas dengan apa yang disebut dengan fictie hukum. Mengapa ini penting ? mungkin kita semua masih teringat dengan banyaknya anggota DPRD maupun pejabat di daerah yang harus duduk sebagai terdakwa kasus korupsi karena menjadi korban dari sebuah peraturan perundang-undangan. Karena klausul “ kepatutan “ yang sebenarnya memang subyektif, banyak anggota dewan kita akhirnya harus rela masuk penjara. Dan dalam konteks ini, bisa saja di masa mendatang pengusaha yang telah melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan akan tetap mendapatkan sanksi. Kalau sudah demikian, melaksanakan ataupun tidak melaksanakan Corporate Social Responsibility dapat membawa konsekwensi yang sama. Hal ini sangat mungkin bila penjelasan rumusan konsep dan pelaksanaanya tidak memadai. Namun kondisi sebaliknya akan terwujud apabila kejelasan konsep dan pelaksanaannya memadai. Dengan kejelasan tersebut, para pelaku usaha justru akan khawatir dan ketakutan apabila perusahaannya tidak melaksanakan Corporate Social Responsibility.
Yang ke tiga mengenai Perda-Perda yang akan lahir secara massif di berbagai daerah di Indonesia pasca diundangkannya Undang-Undang ini. Dalam masalah ini, Pemerintah Pusat dituntut secara aktif untuk mengingatkan kepada seluruh Pemerintah Daerah (dan DPRD-nya) untuk tidak menetapkan Perda-Perda atau kebijakan-kebijakan tingkat daerah lainnya yang kontradiktif dengan maksud dan tujuan dari pembentukan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 ini. Pemerintah Pusat secara terus-menerus perlu memantau adanya kemungkinan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 ini dijadikan sebagai tameng hukum oleh daerah-daerah untuk melegalkan “penarikan-penarikan yang tak terukur” terhadap para pelaku usaha di daerah. Atas nama peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), banyak sekali Perda dibuat yang pada kenyataannya justru dapat membuat investor enggan melakukan usahanya dan mengakibatkan terancamnya iklim usaha dan investasi.
Yang ke empat mengenai perlunya kedewasaan dan kebijaksanaan dari para pengusaha (pemilik modal). Secara obyektif dapatlah dikatakan bahwa dari berbagai regulasi yang ada, para pelaku usaha selalu berada dalam posisi yang diuntungkan. Mengapa? Karena dari seluruh peraturan perundang-undangan yang ada, tidak ada satupun Undang-Undang, Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, atau Peraturan Daerah yang bab, pasal, atau ayatnya berisi tentang pembatasan maksimal seorang pelaku usaha (pemodal) dalam mencari keuntungan. Akan tetapi mencari batasan denda yang harus dibayar oleh seorang pelaku usaha apabila melanggar ketentuan akan mudah diketemukan dalam peraturan perundang-undangan kita. Salah satu contohnya adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dalam ketentuan Undang-Undang Penanggulangan Bencana tersebut, seseorang yang dengan sengaja melakukan pembangunan beresiko tinggi dengan tanpa dilengkapi analisis resiko bencana dan kemudian menimbulkan bencana hingga hilangnya harta dan nyawa orang, denda materi yang harus dibayar oleh si pelaku telah ditentukan hanya sebesar dua belas milyar. Itupun sudah yang paling maksimal. Dalam membayangkan kasus seperti itu, kita bisa menoleh pada kasus lumpur Lapindo. Secara kasar mungkin kita dapat menghitung dengan cepat berapa besar kerusakan dan kerugian yang ditanggung oleh para korban, berapa besar keuntungan yang telah diperoleh pemilik perusahaan, dan berapa jumlah denda yang harus dibayar oleh pihak Lapindo jika menggunakan Undang-Undang Penanggulangan Bencana. Semuanya sangat menguntungkan pengusaha. Apalagi apabila bentuk usahanya adalah Perseroan yang merupakan Badan Hukum. Dengan mendasarkan pada Undang-Undang Perseroan Terbatas, para pemilik modal dapat mencari keuntungan dengan tanpa mengenal batas. Hal tersebut sangat berbeda ketika para pemilik modal tersebut mengalami masalah, mereka hanya diwajibkan menanggung sesuai dengam jumlah modalnya. Begitulah rule of the game dari dunia usaha kita. Dan hal tersebut mungkin adalah sebagian alasan yang mendasari sikap dari para pemilik modal yang menolak melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan serta kewajiban –kewajiban lainnya.
Yang terakhir adalah perlunya pemahaman yang utuh dan komitmen yang kuat dari seluruh stakeholder yang ada. Corporate Social Responsibility akan terlaksana dan memberi manfaat semua pihak apabila pelaksanaannya dilakukan secara tepat. Para pelaku usaha akan mendapatkan keuntungan yang bertambah apabila menempatkan CSR ini sebagai kerangka strategis perusahaannya. Masyarakat akan mendapatkan manfaat dari CSR ini apabila memandangnya tidak dalam semangat aji mumpung dan mengaksesnya secara membabi buta. Dan Pemerintah juga akan berhasil mewujudkan tujuan dari pengaturan CSR ini apabila di tingkat law enforcement dilaksanakan dengan tidak mengabaikan kepastian hukumnya. Jika semua itu dapat dilakukan, maka Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan ini bukanlah merupakan buah simalakama, akan tetapi justru merupakan buah segar penuh vitamin yang akan menyehatkan dan mampu membawa kehidupan masyarakat kita menjadi jauh lebih sejahtera, sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa.... Semoga.
Jakarta, Januari 2008



0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda


Free chat widget @ ShoutMix