<data:blog.pageTitle/>

20 November 2007

Generasi muda, demokrasi, dan integrasi bangsa


Dalam benak banyak orang, pemuda adalah sosok pribadi yang istimewa. Penilaian istimewa ini mungkin didasari atas peran-perannya yang terdapat dalam seluruh proses kesejarahan umat manusia yang ada. Memang ada banyak bukti yang bisa dijadikan dasar atas penilaian itu. Di hampir seluruh pelosok dunia, sejarah perubahan senantiasa dimotori oleh segolongan manusia yang bernama pemuda, khususnya mahasiswa. Pun yang terjadi di Indonesia. Betapa tidak, dalam setiap episode perubahan yang terjadi di Republik ini, selalu saja mahasiswa menjadi pelopornya. Tengok saja misalnya pada tahun 1908 ketika gerakan kebangkitan nasional dimotori oleh mahasiswa-mahasiswa STOVIA. Atau mungkin pada tahun 1966 yang dipelopori oleh mahasiswa-mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia yang kemudian melahirkan Orde Baru. Atau juga pada peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari yang aksi-aksinya juga dipimpin oleh para mahasiswa. Bahkan tahun 1998 kemarin yang kemudian lebih dikenal sebagai gerakan reformasi. Semua itu adalah lembaran-lembaran emas dari sejarah perjuangan-perjuangan yang di perankan oleh mahasiswa.
Demikian juga sejarah perubahan yang terjadi di dunia. Lihat saja pada apa yang terjadi di Portugis pada tahun 1930- 1940. Bagaimana mahasiswa Portugis waktu itu melakukan aksi-aksi menentang kediktatoran Salazar. Atau ketika dekade 60-an, bagaimana para mahasiswa latin berjuang dalam misinya melawan kediktatoran dan kelaparan bangsanya. Mereka dengan lantang memprotes kebijakan-kebijakan para diktator Paraguay, Guatemala, Haiti,dan Nicaragua. Mereka dalam dekade itu secara massif memprotes setiap kebijakan para diktator yang jelas-jelas tidak berpihak kepada rakyat. (lPergolakan Mahasiswa Abad ke-20, Yozar Anwar dalam Kisah Perjuangan Anak-Anak Muda Pemberang ) Dan dari sebagian kecil itu saja, apabila di dalam kamus sejarah perubahan kita dikenal yang namanya Very Important Person (VIP)-, mahasiswa dan pemuda bisa dipastikan akan menjadi nominator utamanya. Dan andaikata itu memang ada, mungkin bukan lagi Very Important Person, melainkan Very Important Community. 1998 - Saat ini Bulan mei yang kita lewati saat ini adalah bulan yang delapan tahun lalu merupakan bulan yang syarat dengan catatan sejarah bagi perjalanan demokrasi di bumi pertiwi ini. Pada saat itu, ribuan mahasiswa bersama-sama dengan rakyat bahu-membahu turun ke jalan menuntut sebuah perubahan. Kekecewaan dan kemarahan rakyat atas pemimpin dan segala kebijakannya terakumulasi dengan kuat. Bersama dengan pemuda dan mahasiswa, rakyat yang telah kecewa dan marah tersebut kemudian melakukan sebuah gerakan ekstra parlementer yang maha dahsyat. Dari gerakan yang kemudian lebih dikenal sebagai gerakan reformasi ini, tepat pada tanggal 21 Mei berhasil memaksa Soeharto sang Sumber Dari Segala Bencana mundur dari tampuk kekuasaannya. Sejenak rakyat bersama mahasiswa lega, Saat ini -delapan tahun setelah peristiwa itu telah berlalu- kita belum merasakan indahnya reformasi yang kita impikan.
Detik ini -setelah empat Presiden telah kita rasakan kebijakannya- kita juga belum menikmati demokrasi yang hakiki, yakni demokrasi yang letaknya berada diantara kebebasan dan batasan. Dan hari ini –ketika bangsa ini telah melahirkan orang gunung bernama mbah Maridjan menjadi tokoh baru- kita malah melihat bahwa integrasi bangsa hanyalah bualan semata.
Satu pertanyaan, apa yang salah dengan kita ?

Perubahan, demokrasi, dan integrasi bangsa
Membicarakan perubahan pada bangsa ini, akan lebih baik kalau kita membedakannya kedalam dua bentuk / macam tentang perubahan, yakni perubahan yang hanya diinginkan semata dan perubahan yang memang benar-benar direncanakan. Pada terminologi perubahan yang hanya diinginkan, perubahan semata –mata hanya merupakan keinginan dari sebuah golongan atas lahirnya sebuah situasi dan kondisi yang lebih baik. Dalam perubahan yang bermakna seperti ini, mayoritas orang tidak pernah merumuskan satu kerangka yang jelas dan rinci atas perubahan yang ingin diraihnya. Mayoritas orang ini tidak pernah membuat sebuah grand desain atas perubahan itu sendiri. Dan perubahan yang terjadi di Indonesia menurut penilaian saya adalah perubahan yang masuk dalam kategori ini. Oleh karena itu, karena gerakan reformasi yang terjadi delapan tahun yang lalu ternyata termasuk dalam kategori pada perubahan yang hanya diinginkan semata, maka menjadi cukup wajar apabila demokrasi yang dihasilkan menjadi demokrasi yang penuh dengan anarkhi dan penuh dengan transaksi materi. Dan karena perubahan yang terjadi hanya perubahan yang berklasifikasi seperti itulah maka menjadi agak wajar juga apabila keinginan integrasi justru berbuah disintegrasi. Dari paparan diatas sekarang muncul satu pertanyaan, peran apa yang harus kita mainkan dalam membangun demokrasi dan integrasi bangsa kita dalam konteks kekinian ?

Peran kedepan
Di republik yang konstitusinya telah dengan jelas menyatakan dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi ini, kaum muda harus menjadi sebuah kekuatan yang kritis. Adalah tugas dan porsinya, bahwa pemuda harus senantiasa melakukan kritik, kontrol, dan pengawasan terhadap segala kebijakan yang menyangkut nasibnya seluruh rakyat, khususnya yang dikeluarkan oleh para penyelenggara negara. Dan satu hal yang harus menjadi keyakinan dan prinsip kita pula, bahwa mengkritik, mengontrol, dan mengawasi dalam alam demokrasi bukan saja sesuatu yang penting, namun lebih dari itu peran-peran tersebut merupakan peran-peran yang terhormat pula. Dan menurut saya ini adalah hal yang paling penting. Dalam konteks itu, jauh-jauh hari banyak kaum muda yang saat ini telah menentukan sikapnya sebagai oposisi permanen. Sebuah kekuatan yang memposisikan diri mengawal bangsa ini mewujudkan masyarakat yang zonder penindasan. Sikap dari oposisi permanen adalah satu sikap yang di satu sisi akan setia mendukung setiap kebijakan yang menyelamatkan kaum marhaen, serta di sisi yang lain sikap ini merupakan sebuah sikap yang siap berhadap-hadapan dengan negara (Pemerintah) sekalipun, apabila dalam kebijakannya negara justeru menindas rakyat. Dan siap untuk vivere vere coloso adalah sesuatu yang telah include dalam sikap dari kaum muda yang ingin melakukan perubahan menuju kehidupan yang zonder penindasan.

Tantangan sekarang dan kedepan
Harus disadari bahwa globalisasi saat ini telah membawa proses perubahan nilai terhadap masyarakat Indonesia tentang hidup dan eksistensi hidup. Globalisasi secara massif telah memaksa masyarakat Indonesia untuk membuat sebuah pandangan baru tentang eksistensi dirinya yang diarahkan pada kemampuan membeli barang (konsumerisme). Pandangan baru tersebut ternyata mampu membuat sebuah perubahan besar-besaran dalam sejarah peradaban bangsa-bangsa di dunia. Bangunan baru tersebut dikemas dalam image “modernisme” yang dipropagandakan kapitalisme global melalui media-media informasi yang juga telah mengglobal. Di Indonesia, pencitraan tersebut telah efektif memasuki kisi-kisi bangunan pergaulan hidup masyarakat Indonesia akibat masih kuatnya budaya feodal yang membuat sebagian besar masyarakat mengalami penyakit minder karena merasa bangsanya adalah bangsa kecil dan primitif dibandingkan dengan perkembangan budaya negara-negara maju. Implikasinya, semua perubahan sosial dan budaya masyarakat Indonesia sepenuhnya dikendalikan oleh kekuatan kapitalisme global terutama dalam budaya pergaulan hidup yang hedonis, konsumeris dan pragmatis. Di sisi yang lain, disfungsionalisasi peran agama justru semakin akut. Nilai-nilai agama di Indonesia semakin tercemari oleh kepentingan politik golongan. Hal ini kemungkinan lebih disebabkan oleh banyaknya tokoh /pemimpin agama yang terlibat secara aktif dalam lemabag-lembaga politik / partai. Nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan kebajikan yang menjadi nafas dari agama itu sendiri, nyaris hilang tergantikan oleh perasaan-perasaan kemunafikan, keserakahan dan egoisme manusia. Di tangan orang yang tidak memahami bahwa agama mengandung nilai-nilai yang universal, menyebabkan agama menjadi salah letak. “Pertempuran” atas RUU APP (Rancangan Undang-Undang Anti Pornoaksi dan Pornografi) menjadi contoh kongkrit atas hal itu. Akhiran Sebagaimana seorang filsuf katakan “saya berpikir maka saya ada”, maka marilah kita semua (khususnya para kaum muda) untuk berpikir guna merumuskan blue print gerakan ke depan. Dan kita harus sepakat bahwa masa depan adalah masa kita, sebuah masa yang semoga saja dapat membawa seluruh rakyat pada kondisi yang benar-benar direncanakan dan diidam-idamkan.

Pulogadung, 26 Mei 2006


0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda


Free chat widget @ ShoutMix