<data:blog.pageTitle/>

20 November 2007

BPPN: Tidak layak namun perlu



oleh : sonny t. danaparamita

BPPN adalah sebuah badan khusus yang bertugas menjalankan fungsi penyehatan perbankan dan melaksanakan pengelolaan aset- aset bank yang bermasalah. Dalam menjalankan fungsinya, bank- bank yang dikenai program penyehatan adalah bank- bank yang ditetapkan dan diserahkan oleh Bank Indonesia kepada BPPN guna dilakukan program penyehatan bagi bank yang bermasalah.

Diperkirakan, hingga saat ini BPPN telah menguasai serta mengelola total aset sebesar 540 triliyun rupiah yang terdiri dari aset swasta dan aset pemerintah. Menurut penjelasan PP Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional, dalam ketentuan umum alinea ketiganya dijelaskan “Guna mencegah kerusakan yang lebih buruk di sektor ekonomi yang dapat menimbulkan implikasi sosial secara luas, pemerintah mengambil langkah-langkah strategis dengan mendirikan badan khusus yang bersifat sementara dan mempunyai misi untuk memulihkan kondisi perbankan serta mengembalikan uang negara yang telah tersalur di sektor perbankan dimana untuk selanjutnya badan khusus dimaksud disebut dengan BPPN. Mengingat besarnya jumlah uang negara yang harus dipulihkan serta sangat strategisnya misi yang diberikan kepada BPPN tersebut, undang-undang memberikan kewenagan-kewenangan khusus yang tidak dimiliki oleh institusi lainnya. Sifat dari kewenangan yang dimiliki oleh BPPN tersebut merupakan lex specialis terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang lainnya. Bahkan oleh undang-undang tindakan-tindakan yang diambil oleh BPPN dipersamakan dengan sebuah putusan pengadilan yang bersifat serta merta (uitvoerbaar verklaard bij voorraad).


Hal ini tiada lain karena keadaan perekonomian nasional dalam keadaan bahaya dan eksistensi BPPN tersebut hanya bersifat sementara.” Dari penjelasan tersebut, justeru meninggalkan ketidakjelasan dan penafsiran ganda. Seperti, penerapan azas Lex Specialis, pemberian kewenangan untuk dapat mengambil keputusan yang dipersamakan dengan putusan pengadilan yang bersifat serta merta, dan pernyataan keadaan perekonomian nasional dalam keadaan bahaya, kesemuanya masih belum mempunyai pijakan dan landasan hukum yang jelas serta kuat.

Lebih jauh -karena ad hoc sifatnya-, maka dalam menjalankan tugasnya BPPN diberi jangka waktu selama lima (5) tahun terhitung sejak diberlakukannya PP Nomor 17 Tahun 1999 tersebut. Oleh karena itu, konsekwensi politis dan yuridis yang harus dipikul oleh BPPN adalah bahwa badan khusus tersebut diharapkan mampu menyelesaikan tugas-tugasnya dalam jangka waktu yang sesungguhnya relatif pendek, yakni sampai dengan tanggal 27 Februari 2004.

Banyaknya kasus-kasus kolutif di seputar restrukturisasi asset Bank-Bank bermasalah yang telah diserahkan oleh Bank Indonesia pada BPPN adalah sebuah berita yang selama ini selalu mengikuti perjalanan BPPN.
Kondisi tersebut sekaligus menunjukkan bahwa azas kehati- hatian dan azas keterbukaan sebagai “pagar moral” yang harusnya selalu dijadikan landasan BPPN dalam melangkah sama sekali tidak diperhatikan. Hal tersebut terkait dengan cara kerja BPPN yang cukup lemah dan tidak transparannya dalam menjalankan restrukturisasi (sampai sekarang masih 20% dari total aset awal sebesar 700 trilyun).

Selain itu, yang juga disoroti oleh banyak pihak adalah soal kewenangan BPPN yang cenderung tak terbatas dalam mengelola aset bank-bank yang telah dikuasainya, terutama berkenaan dengan kemungkinan banyaknya kerugian yang ditimbulkannya (yang mau tidak mau akan ditanggung oleh rakyat sebagai representasi publik dan pemerintah).


Alasan dibentuknya BPPN
Gejolak moneter yang melanda kawasan Asia pada tahun 1997, telah membawa dampak yang cukup luar biasa terhadap kondisi moneter nasional kita. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar yang kemudian diikuti dengan melemahnya industri perbankan nasional telah membawa keprihatinan semua pihak.
Pemerintah dalam penjelasannya di berbagai kesempatan menyatakan bahwa pembentukan BPPN sebagai badan khusus dan bersifat ad hoc ini merupakan langkah strategis yang diambil oleh pemerintah dalam usahanya untuk memulihkan kondisi perbankan serta mengembalikan uang negara yang telah tersalurkan di sektor perbankan. Dari berbagai reason itulah maka pada tanggal 27 Januari 1998 lahir Keppres No. 27 Tahun 1998 tentang pembentukan BPPN.


Kinerja BPPN
BPPN yang bertugas sejak tanggal 27 Februari 1998 dalam kinerjanya dinilai banyak pihak memiliki banyak kekurangan. Salah satu hal yang banyak disoroti adalah komponen biaya yang telah dikeluarkan oleh BPPN ( baik biaya operasional maupun non operasional ) yang sangat besar. Sebagai contoh misalnya: pada bulan Januari s/d Maret 2001, BPPN telah menghabiskan biaya 422,09 milyar , sementara penerimaanya sampai tanggal 30 April 2001 hanya 7,32 trilyun. Dan dari penerimaan tersebut yang sudah disetorkan ke Departemen Keuangan hanya sebesar 6,25 trilyun rupiah. Dari hal diatas dapat kita katakan bahwa BPPN terlalu boros (in-efesien) dalam menjalankan tugasnya untuk mengembalikan/mengelola aset negara.

Di sisi yang lain, terlalu seringnya pergantian pucuk pimpinan di BPPN menyebabkan ketidaksinambungan kepemimpinan di BPPN. Hal ini semakin memperlemah kepercayaan publik terhadap BPPN akibat tidak adanya prosedur yang bisa dipertanggungjawabkan dalam persoalan pergantian pimpinan, misalnya saja mengenai fit and property test.

Hal lain yang menyebabkan tidak efektif dan tidak efesiennya kinerja BPPN adalah kurangnya transparansi serta adanya “pasien BPPN yang menjadi penasihat BPPN” sebagaimana disampaikan Ketua BPPN yang baru, I Putu Gede Ary Suta


Teori Supremasi Hukum.
Hukum Indonesia, di dalam sistemnya menganut teori supremasi hukum yang merupakan satu teori yang diperkenalkan pertama kali oleh Hans Kelsen, seorang pemikir hukum terkenal dalam abadnya. dengan teori orisinilnya berjudul Stufen Theory. Dalam teori ini, segala peraturan perundangan di bawah tidak boleh bertentangan dengan produk- produk hukum diatasnya. Apabila di dalam lapangan hukum terdapat sebuah produk hukum bertentangan dengan produk hukum diatasnya ( lebih- lebih bertentangan dengan ground norm atau norma dasar/konstitusi), maka produk hukum yang bertentangan tersebut harus batal demi hukum.


Carut- marutnya peraturan
Undang- Undang Dasar 1945 di dalam pasal 24-nya mengatur bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan- badan kehakiman lain yang ditetapkan dengan Undang- Undang. Dan lebih jauh, Undang- Undang yang mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman ini adalah Undang- Undang No.14 Tahun 1970. Di dalam Undang- Undang tersebut telah diatur dengan tegas bahwa kekuasaan kehakiman harus bersifat mandiri.

BPPN sebagai badan khusus yang di bentuk berdasarkan Keppres No. 27 Tahun 1998, memiliki kekuasan yudikatif yang sama dengan institusi peradilan, sebagaiman diatur di dalam pasal 53, 54, 55, 56, 57, 58, dan 59 PP No.17 tahun 1999. Mengingat BPPN adalah sebuah lembaga yang inheren dengan pemerintah, maka seharusnya BPPN tidak dapat melakukan fungsi- fungsi yudikatif sekaligus fungsi- fungsi eksekutif, karena sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan lebih khusus Undang- Undang No. 14 Tahun 1970, bahwa kekuasaan yudikatif harus bersifat mandiri.

Jadi dengan diberlakukannya PP No. 17 Tahun 1997 tersebut telah terjadi proses peradilan oleh pihak-pihak di luar badan-badan peradilan, yang dalam hal ini dilakukan oleh pemerintah (kekuasaan eksekutif) melalui BPPN. Ini sangat bertentangan dengan hakekat Indonesia sebagai rechtstaat (negara hukum) bukan machtstaat (negara kekuasaan).

Dalam hal penagihan utang (sebagaiman diatur di dalam pasal 54, 55, 56, dan 57 PP No. 17 Tahun 1999), kewenangan BPPN ini bertentangan dengan Undang- Undang No. 49 Prp Tahun 1960 Tentang Panitya Urusan Piutang Negara ( kini Panitya Urusan Piutang Dan Lelang Negara). Selain itu, kewenangan BPPN mengenai penagihan utang tersebut juga sangat berlawanan dengan isi dan semangat dari UU No. 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.

Hal lain yang menimbulkan kerancuan serta membuat terjadinya kontradiksi hukum adalah mengenai penyerahan piutang negara oleh instansi pemerintah dan badan- badan negara (seperti BUMN) kepada BPPN sebagaimana yang termaktub dalam PP No 17 Th 1999 adalah bertentangan dengan pasal 12 ayat (1) UU No. 49 Prp th 1960 yang nyata- nyata masih berlaku.

Adanya kewenangan BPPN untuk menerbitkan surat paksa dan dipergunakan lembaga tersebut untuk melakukan penagihan piutang kepada debitor adalah juga merupakan suatu tindakan yang menyalahi hukum yang berlaku, mengingat yang berhak menerbitkan surat paksa adalah Panitya Urusan Piutang dan Lelang Negara sebagai institusi yang berwenang dalam hal mengurus, mengawasi dan menyelesaikan setiap perkara piutang negara. Sehingga, BPPN tidak berhak menerbitkan surat paksa dengan berkepala ''Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa''.

Kewenangan lain BPPN yang perlu dicermati karena bertentangan dengan ketentuan hukum yang lebih tinggi adalah soal peletakan, pencabutan dan pengangkatan sita eksekusi terhadap harta benda milik debitor tanpa didasari oleh suatu akta yang disamakan dengan putusan badan peradilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Hukum acara perdata mengatur, sita eksekusi hanya dapat dilakukan berdasarkan suatu perintah ketua pengadilan negeri, setelah pihak yang dikalahkan tidak memenuhi putusan atau tidak menghadiri panggilan tanpa alasan yang patut.


Penutup
Dari berbagai paparan diatas tentunya bisa kita ambil sebuah konklusi, bahwa dengan dalih apapun keberadaan BPPN tidak bisa dibenarkan secara yuridis, sehingga sangatlah layak apabila lembaga khusus tersebut di bubarkan.
Akan tetapi yang tetap harus menjadi catatan kita bersama adalah bahwa perbankan (sekaligus perekonomian) kita saat ini masih butuh sebuah lembaga yang sejenis dengan BPPN. Oleh karena itu wajib menjadi pemikiran kita bersama untuk dapat dengan segera menciptakan sebuah lembaga yang mampu menyehatkan perekonomian nasional sekaligus memiliki “kesehatan hukum” dalam dirinya





0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda


Free chat widget @ ShoutMix